Catatan Sutopo Purwo Nugroho Saat Kesulitan Mengerjakan Skripsi, Bisa jadi Motivasi Segera Lulus

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho rupanya pernah mengalami kesulitan saat mengerjakan skripsi saat ia berkuliah di UGM.

Penulis: Imam Saputro |
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Sutopo Purwo Nugroho berfoto di depan lambang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis (4/10/2018) 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho rupanya pernah mengalami kesulitan saat mengerjakan skripsi saat ia berkuliah di UGM, ia kemudian mengunggah catatan harian dia saat itu di akun Twitternya, Senin (13/5/2019).

TRIBUNPALU.COM -  Tugas akhir atau skripsi sering menjadi batu sandungan bagi mahasiswa untuk lulus dari perguruan tinggi.

Bahkan ada yang tidak bisa menyelesaikan kewajibannya tersebut dan harus drop out dari perguruan tinggi.

Rupanya kesulitan saat mengerjakan skripsi juga pernah dialami oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.

Ia membagikan kisahnya saat mengalami mengerjakan skripsi yang tak selesai-selesai.

Ia mengunggah foto buku hariannya ketika ia tengah berjuang menyelesaikan skripsi di Universitas Gajah Mada di akun Twitter-nya, Senin (13/5/2019).

Di keterangan foto ia menuliskan, ”Pernahkah kamu mengalami patah semangat menyelesaikan skripsi? Lalu mengabaikan skripsi, dan akhirnya insaf untuk menyelesaikan.”

Saya pernah mengalami itu. Rasa bersalah pada orangtua dan penyesalan itu saya tulis pada block note Mei 1993.

Ketemu buku catatan 24 tahun lalu.

Dari foto buku saku dengan logo Universitas Indonesia yang diunggahnya, tampak catatan itu ditulis dengan tinta biru.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB ini juga menyatakan buku saku tersebut merupakan hadiah dari temannya dari UI, karena Sutopo berkuliah di UGM.

“Itu block note pemberian teman dari UI. Saya kuliah di UGM,” tulis Sutopo menjawab pertanyaan warganet di akun Twitternya.

Berikut catatan Sutopo:

“Bapak, Ibu... 

Aku minta maaf yang sebesar-besarnya atas semua. Maafkan semua kebohongan, melalaikan kewajiban tidak menomorsatukan studi dan terlena dengan keindahan-keindahan sesaat,” tulis pria asal Boyolali itu.

 “Tanpa mau menengok ke belakang, betapa sulit dan beratnya Bapak,Ibu membiayaiku, sehingga semuanya sia-sia.”

 Tuhan berikan aku kekuatan dan motivasi yang tinggi agar aku dapat bangkit kembali.

Tegarkan diriku, agar aku dapat aku dapat menyelesaikan skripsi.

Ya Allah hanya kepadamu aku memohon…

Berilah aku ketenangan jiwa dan dapat melupakan semuanya.

Sekarang aku berjanji pada Bapak, Ibu dan pada-Mu aku akan segera menyelesaikan semua kewajibanku, untuk menggapai semua cita-citaku.

Tuhan…

Kuharap Kau merestui dan menyertai semua tekatku, sebagai bagian darma baktiku pada orang tua

 “Ya Allah... mudahkan semua jalanku dan peluklah aku. Hanya dengan mengingatmu mata hatiku menjadi tenang.”

 

Cuitan Sutopo tersebut mendapatkan banyak tanggapan dari warganet yang merasakan hal serupa dan merasa mendapatkan motivasi dari cuitannya tersebut.

Sutopo Purwo Nugroho diketahui lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 7 Oktober 1969.

Ia merupakan anak pertama Suharsono Harsosaputro dan Sri Roosmandari.

SD, SMP, dan SMAnya itu ia jalani di kampung halamannya.

Ia memperoleh gelar S1 Geografi di Universitas Gadjah Mada pada 1993, dan ia menjadi lulusan terbaik di sana pada tahun itu.

Kemudian berlanjut ke S2 dan S3 di bidang hidrologi di Institut Pertanian Bogor, yakni S2 Program Studi Pengelolaan DAS IPB, dan S3 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB.

Dikutip dari Kompas.com, Sutupo kecil hidup di keluarga sangat sederhana.

Lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 48 tahun silam, ia bercerita pernah tinggal di rumah kontrakan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan sudah banyak berlubang.

Lantainya pun masih tanah. Kalau musim hujan datang, laron berdatangan dari lubang-lubang tanah rumahnya.

“Kalau musim hujan, dari dalam lantai keluar laron banyak. Kami ambil, kami goreng untuk makan,” kenang dia.

Sutopo ingat, bagi dia dan keluarga, momen makan telur adalah sebuah kemewahan.

Ia baru bisa makan telur ketika Lebaran.

“Saya kalau makan telur itu kalau enggak Lebaran, enggak ngerasain. Jadi sampai sekarang ngerasain nikmatnya telur,” tutur dia.

Saat ini pria yang mengidolakan Raisa tersebut tengah berjuang melawan penyakit kanker paru-paru stadium 4B.

Ia mengaku terkejut bukan main saat mengetahui dirinya mengidap penyakit tersebut.

Sutopo bukan perokok dan bergaya hidup sehat, tapi kanker paru tiba-tiba hinggap di tubuhnya.

Sutopo mengaku memang kerap batuk tetapi batuknya sembuh hanya dengan mengonsumsi obat pasaran.

Namun, lama-kelamaan ia batuk dengan durasi sembuh yang cukup lama.

Akhir 2017, Sutopo memeriksa kesehatan di dokter spesialis jantung. Ia dinyatakan sehat dan terbebas dari penyakit.

Hanya saja, kata dokter itu, asam lambungnya tinggi.

Ia diberi obat asam lambung dan kemudian batuknya mereda.

Januari 2018, Sutopo berinisiatif mengecek kesehatan ke dokter spesialis paru-paru.

Dari situlah ia tahu kanker telah bersarang di tubuhnya.

Januari 2018, Sutopo berinisiatif mengecek kesehatan ke dokter spesialis paru-paru.

Dari situlah ia tahu kanker telah bersarang di tubuhnya.

“Kaget saya. Kanker? Aduh gimana ini. Saya pulang ke rumah, enggak bilang sama anak istri saya,” kata Sutopo.

Tak merasa yakin dengan vonis dokter, Sutopo mencari second opinion dengan mengecek kesehatannya di Malaysia.

Hasilnya sama, dokter memvonis Sutopo mengidap kanker paru-paru stadium 4B.

“Dokter bilang enggak bisa sembuh, umur tinggal paling 1-3 tahun. Tambah syok lagi saya, inget anak-anak, inget istri. Nangis, saya, kadang,” tutur Sutopo.

Karena penyakit yang dia derita, Sutopo pernah berpikir untuk menyerah dan melepas jabatan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB.

Sutopo kerap merasa kelelahan harus bekerja sekaligus berhadapan dengan penyakitnya.

Saat gempa menggoyang Jakarta pada Januari 2018, Sutopo yang baru menerima vonis kanker tidak menyampaikan informasi apa pun.

Telepon dari wartawan pun tak diangkatnya.

Namun, kemudian ia tersadar bahwa masyarakat membutuhkan dirinya.

Ia mencoba untuk ikhlas, dengan bekerja dan menghadapi penyakitnya.

“Awalnya saya berpikir, kenapa harus saya (yang sakit). Tapi ya sudah, saya nikmati aja. Ya sudah saya ikhlas. Kan ini perjalanan hidup. Bapak saya selalu menasihati saya, orang itu hidup tidak selamanya lurus seperti yang kita harapkan, ada kalanya kita terperosok ke jurang ke lembah, ya sudah diterima,” kata dia. 

(TribunPalu.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved