Penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Masih Tutup Diri, Tolak Gubernur Papua & Gubernur Jatim
Usai aksi protes pengrusakan bendera, penghuni asrama mahasiswa Papua di Surabaya masih menutup diri.
TRIBUNPALU.COM - Usai aksi protes pengrusakan bendera, penghuni asrama mahasiswa Papua di Surabaya masih menutup diri.
Mereka menolak kedatangan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Hingga 10 hari pasca aksi protes pengerusakan bendera, para penghuni asrama mahasiswa Papua yang terletak di Jalan Kalasan, Surabaya, enggan ditemui.
Mereka menolak berkomunikasi dengan siapa pun.
Kapolda Jawa Timur Irjen Luki Hermawan mengungkapkan para penghuni asrama menolak berkomunikasi dengan siapa pun.
Mereka juga tak mau ditemui termasuk oleh polisi maupun perwakilan warga Papua yang datang ke sana.

"Mereka belum berkenan membuka komunikasi dengan siapa pun termasuk dengan polisi dan perwakilan Papua yang datang ke sana," kata Luki, Selasa (27/8/2019), dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com.
Pekan lalu, rombongan DPR RI asal Papua bersama wakil Ketua DPR Fadli Zon, juga gagal masuk ke dalam asrama.
Saat itu, pintu gerbang asrama Mahasiswa Papua sendiri terlihat tertutup rapat.
Di depan pintu gerbang terpampang spanduk warna putih bertuliskan "Siapapun Yang Datang Kami Tolak" dengan huruf warna merah.
Selain itu ada juga tulisan "Lepaskan Garuda" dan "Referendum Is Solution."
• Calon Ibu Kota Baru RI di Kalimantan Timur, Dahlan Iskan Sempat Ingin Beli Pulau dekat Balikpapan
• 3 Fakta Penolakan Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Massa Asrama Papua, Ada Kibaran Bintang Kejora
• Disambut Lemparan Kerikil, Khofifah dan Gubernur Papua Ditolak Masuk ke Asrama Mahasiswa Papua
Bahkan, rombongan Gubernur Papua dan Rombongan Gubernur Jatim juga ditolak saat bertandang ke asrama tersebut pada Selasa (27/8/2019) sore.
Selain berteriak-teriak mengusir, penghuni asrama juga memukul pintu gerbang dengan kursi lipat hingga menghujani rombongan dengan kerikil.
Sehari jelang perayaan HUT RI ke-74, tepatnya pada 16 Agustus 2019 lalu, kelompok ormas menggelar aksi protes di depan asrama tersebut karena kabar ada perusakan Bendera Merah Putih di depan asrama.
Dalam aksi tersebut, muncul ujaran-ujaran rasial yang disebut memicu aksi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.
Polisi kini mendalami kasus perusakan bendera tersebut dan pelaku ujaran-ujaran rasial kepada warga Papua di asrama tersebut.

Khofifah Indar Parawansa dan Gubernur Papua Ditolak
Penghuni asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, menolak kedatangan rombongan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Selasa (27/8/2019).
Keduanya memutuskan mengunjungi asrama mahasiswa Papua setelah menggelar pertemuan di Gedung Negara Graha di Surabaya Selasa sore.
Pantauan Kompas.com, penolakan dari penghuni asrama sudah nampak saat mereka melihat banyak rangkaian kendaraan roda empat yang tiba-tiba datang dan berhenti di depan asrama sekitar pukul 18.00 WIB.
Para penghuni lantas menggedor-gedor pintu gerbang dari dalam dan meminta mereka pergi.
Terdengar juga nyanyian Papua Merdeka.
Bahkan dari dari luar terlihat ada yang sudah mengangkat kursi lipat dan melempar kerikil.
Atas pertimbangan keamanan, rombongan kedua gubernur itu pun kembali masuk mobil dan meninggalkan lokasi.
Sementara polisi mencoba menenangkan dan meminta kerumunan wartawan untuk bubar dari depan asrama.
Ikut dalam rombongan tersebut, Kapolda Jawa Timur Irjen Luki Hermawan dan Pangdam V Brawijaya Mayjend TNI Wisnoe Prasetja Boedi.
• Calon Ibu Kota Baru RI di Kalimantan Timur, Dahlan Iskan Sempat Ingin Beli Pulau dekat Balikpapan
• Misteri Temuan 4 Kerangka di Banyumas Mulai Terkuak, Pelaku Masih Keluarga Sendiri
Lima anggota TNI Diskors
Kodam V/Brawijaya memberikan skorsing kepada lima anggotanya atas peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, pekan lalu.
Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) V/Brawijaya Letkol Arm Imam Hariyadi mengatakan, lima anggotanya dijatuhi skorsing, salah satunya adalah Danramil 0831/02 Tambaksari Mayor Inf N.H Irianto.
"Skorsing itu namanya pemberhentian sementara, sifatnya temporer. Walaupun sebenarnya itu merupakan sanksi juga ya, jadi hak-hak dia dikurangi juga," kata Imam kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam.
Menurut dia, skrosing itu diberikan untuk memudahkan Pomdam V/Brawijaya dalam melakukan penyidikan.
Ia menyayangkan tindakan oknum anggota TNI tersebut yang diduga telah melakukan prlanggaran disiplin.

Seorang prajurit teritorial, sambung dia, seharusnya bisa menjaga sikap di lapangan.
"Terkait dengan anggota saya, mereka pada saat di lapangan kenapa bisa menampilkan sikap-sikap seperti itu (melontarkan ujaran rasial)," ujar dia.
"Seharusnya, seorang prajurit teritorial, tampilan mereka di lapangan seharusnya menampilkan komunikasi sosial.
Tidak emosional, walaupun situasinya seperti itu (memanas)," tutur Imam.
Ia menjelaskan, penyidikan yang dilakukan Pomdam V/Brawijaya terus berjalan.
Selain itu, Pomdam juga melengkapi berkas-berkas perkara sehingga kasus tersebut bisa segera dibawa ke persidangan.
Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan nanti, akan diputuskan melalui persidangan di peradilan militer.
"Begitu persidangan nanti kan ada putusan. Nanti hasil putusan itulah yang nanti (menentukan hukuman). Dasarnya adalah hasil penyidikan saat ini," terang Imam.
Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Masih Tutup Diri, Ogah Ditemui Gubernur Papua dan Jatim