Kata Kriminolog hingga Ombudsman soal Pembebasan Napi di Tengah Wabah Virus Corona
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan keputusan pembebasan narapidana pada 30 Maret 2020 lalu di tengah pandemi virus corona di Indonesia.
Data ini disampaikan oleh Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Yunaedi.
“Secara normatif, tanpa adanya Permenkumham 10 ini sebenarnya memang 40 ribu narapidana sudah harus keluar secara bertahap, termasuk yang 36 ribu ini. Mengapa ini menjadi heboh? Karena ini dikeluarkan bersama-sama,” ungkap Yunaedi.
• Jadwal Belajar dari Rumah hari Rabu 15 April 2020, Siswa SMP Akan Belajar Ronggowarsito & Javanologi
• Menparekraf Wishnutama Ingin Wujudkan Festival Musik Ambon: Impian Glenn Fredly untuk Kota Ambon
Senada dengan hal itu, Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Yuspahruddin juga menjelaskan bahwa seluruh langkah yang diterapkan Ditjen PAS sudah berpedoman dengan apa yang dikeluarkan oleh ICRC dan WHO dalam menanggulangi Covid-19.
Turut hadir dalam diskusi virtual ini perwakilan Ombudsman RI Ninik Rahayu.
Pihaknya menyampaikan pentingnya sosialisasi, memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada publik dari pemerintah.
“Masyarakat juga perlu diberi bekal agar tidak terjadi penolakan terhadap warga binaan yang bebas,” jelasnya.
Sementara Pakar Hukum Bivitri Susanti memberikan pandangannya bahwa persoalan di lapas/rutan tidak sesederhana itu.
Terjadi permasalahan sistemik pada perundang-undangan dan hukum di Indonesia.
Menurutnya, saat ini adalah momentum baik untuk mendorong perubahan dari hulu dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
“Adanya residivis justru membuktikan bahwa untuk tindak pidana tertentu, pemidanaan/penjara itu tidak efektif, melainkan perlu diterapkan restorative justice,” jelas Bivitri.
Salah satu persoalan besar yang ada dari dulu hingga sekarang adalah kelebihan penghuni di dalam lapas/rutan.
Hal ini sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemasyarakatan, namun juga aparat penegak hukum (APH) lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas Prahesti Pandanwangi.
Ia sepakat dengan pendapat Bivitri bahwa pendekatan restorative justice perlu dilakukan.
“Program-program yang sudah dilakukan Ditjen PAS sendiri sudah sangat baik, salah satunya Pokmas yang menjadi program prioritas nasional. Selebihnya mesti ditingkatkan koordinasi dan peran APH terkait lainnya untuk sama-sama bisa mengawasi dan mengatasi persoalan ini,” kata Hesti.