Omnibus Law UU Cipta Kerja Dinilai Rugikan Buruh, Ada Tujuh Poin yang Jadi Sorotan
Pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja telah tuntas diselesaikan DPR dan pemerintah setelah melalui bahasan maraton pada Sabtu (3/10/2020) malam.
TRIBUNPALU.COM - Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR RI yang berlangsung Senin (5/10/2020).
Sidang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin.
RUU Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang setelah mendapat persetujuan dari sebagian besar fraksi di DPR.
"Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat peripurna ini, bisa disepakati?" tanya Azis Syamsuddin selaku pemimpin sidang paripurna dikutip dari siaran TV Parlemen kanal YouTube DPR RI.
"Setuju," ungkap mayoritas anggota yang hadir.
Azis kemudian mengetok palu tanda persetujuan pengesahan.
Dengan demikian, pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja telah tuntas diselesaikan DPR dan pemerintah setelah melalui bahasan maraton pada Sabtu (3/10/2020) malam.
Dalam rapat kerja pengambilan keputusan Sabtu malam lalu, hanya dua dari sembilan fraksi yang menolak hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.
Dua fraksi tersebut adalah PKS dan Partai Demokrat.
Namun, sejak awal isi Omnibus Law UU Cipta Kerja ini diprotes buruh dari berbagai elemen.
Lalu apa saja sebenarnya hal-hal dalam RUU ini yang membuat buruh sangat keberatan?
Berdasarkan catatan Tribunnews, setidaknya ada tujuh item krusial dalam UU Cipta Kerja yang amat merugikan buruh seperti dinyatakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Apa saja? Berikut rinciannya:
1. UMK bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus
Said Iqbal menyatakan buruh menolak keras kesepakatan ini, lantaran UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Dimana UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.