56 Pegawai KPK Dipecat tanpa Pesangon, Giri Suprapdiono: Pemberantas Korupsi Dicampakkan Bak Sampah
menyatakan nantinya pegawai yang kena pecat tak akan mengantongi pesangon dan tunjangan.
TRIBUNPALU.COM - Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menyatakan nantinya pegawai yang kena pecat tak akan mengantongi pesangon dan tunjangan.
Yang bakal didapat 56 orang tersebut hanya berupa uang penyerahan tabungan pegawai itu sendiri dalam bentuk tunjangan hari tua (THT) dan iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Pemecatan tanpa ada pesangon dan tunjangan, yang ada hanya penyerahan uang tabungan pegawai sendiri dalam bentuk THT dan iuran BPJS Ketenagakerjaan," kata Giri kepada Tribunnews.com, Sabtu (18/9/2021).
Sebagaimana diketahui, dalam Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, disebutkan dalam diktum poin kedua bahwa pegawai yang dipecat akan diberikan tunjangan hari tua dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan.
Giri Suprapdiono yang termasuk dalam daftar 56 pegawai dipecat itu meminta publik jangan sampai salah menafsirkan isi SK.
"Jangan salah memahami SK bahwa itu adalah karena diberikan oleh mereka (KPK)," ujar dia.
Giri pun membandingkan nasib 56 pegawai KPK dengan buruh pabrik.
Dia menyebut pemberantas korupsi dianggap layaknya sampah karena tak mendapat pesangon dan tunjangan.
"Buruh pabrik saja dapat pesangon, pemberantas korupsi dicampakkan seperti sampah," kata Giri.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 56 pegawai nonaktif KPK tidak akan lagi bekerja di lembaga antirasuah per 1 Oktober 2021.
Itu karena Firli Bahuri Cs resmi memecat 56 dari total 75 pegawai gagal menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tersandung tes wawasan kebangsaan (TWK) pada 30 September 2021 mendatang.
Ketua KPK Firli Bahuri pun telah mengeluarkan SK Pimpinan KPK tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
SK bernomor 1354 tahun 2021 itu ditetapkan di Jakarta pada 13 September 2021.
Surat ditandatangani oleh Firli Bahuri.
Salinan SK disampaikan kepada Dewan Pengawas KPK, Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Jakarta VI, serta pegawai itu sendiri.
Dalam diktum poin kesatu, pimpinan KPK memberhentikan dengan hormat pegawai KPK per tanggal 30 September 2021.
"Memberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mulai tanggal 30 September," tulis SK yang didapat Tribunnews.com dari sumber, Sabtu (18/9/2021).
Masih dalam diktum poin kesatu, tercantum pula nama si pegawai, NPP (Nomor Pendaftaran Perusahaan), serta jabatan. Tak luput tersemat kalimat ucapan terima kasih atas jasa-jasa si pegawai karena telah bekerja di KPK.
Diktum poin kedua, disebutkan bahwa pegawai yang dipecat akan diberikan tunjangan hari tua dan manfaat Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU diberikan Tunjangan Hari Tua dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan sesuai peraturan perundang-undangan,” bunyi SK tersebut.
Diktum poin ketiga berbunyi, "Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya."
Ada lima poin pertimbangan dalam SK pemecatan pegawai.
Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa pegawai KPK adalah ASN.
Kedua, pegawai ASN secara filosofis dan ideologis disyaratkan memiliki kewajiban untuk setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah.
Ketiga, pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN dengan persyaratan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN, dan Pasal 5 Peraturan KPK 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.
Keempat, pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menajadi pegawai ASN diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai KPK.
Kelima, berdasarkan pertimbangan yang dimaksud dalam poin pertama hingga keempat, perlu menetapkan keputusan pimpinan KPK tentang pemberhentian dengan hormat pegawai KPK
Kuasa Hukum Singgung Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

Sebelumnya, Saor Siagian, kuasa hukum 57 pegawai KPK, mengatakan para pegawai yang tersingkir dari KPK adalah mereka yang tidak bisa diajak kompromid alam pemberantasan korupsi.
Sementara Saor Siagian menyinggung, Ketua KPK Firli Bahuri saat ini orang yang bermasalah.
Tak hanya Firli, Dewan Pengawas KPK juga telah menetapkan Lili Pintauli Siregar, sebagai pelanggar etik.
“Para pelanggar etik inilah yang merancang TWK dan pemecatan para pegawai yang enggan diajak kompromi,” kata Saor.
Ketua KPK Firli Bahuri pernah diadili terkait hidup mewah dengan menumpangi helikopter swasta berkode PJ-JTO saat melakukan perjalanan dari Palembang ke Baturaja.
Firli Bahuri menerima sanksi etik gaya hidup mewah lantaran menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadinya di Sumatera Selatan.
Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik mengenai gaya hidup mewah oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Kamis (24/9/2020).
Sebelumnya, Firli Bahuri pernah dihadapkan sidang pelanggaran etik berat.
Ini disebabkan dia bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi di NTB pada 12 dan 13 Mei 2018.
Firli Bahuri seharusnya tidak boleh bertemu Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB).
Sebab, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Bukti-bukti pertemuan antara Firli dan TGB didapat KPK dari sejumlah saksi serta beberapa foto dan video.
Saat itu Firli juga diketahui terbang ke NTB dengan uang pribadi tanpa izin surat tugas yang diteken KPK.
Menyalahgunakan Kekuasaan

Sementara Lili Pintauli Siregar, pimpinan (wakil Ketua) KPK juga disebut telah mencoreng nama harum KPK sebagai lembaga rasuah.
Lili Pintauli Siregar dijatuhi sanksi oleh Majelis Etik Dewan Pengawas KPK karena dianggap menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dengan pihak berperkara, yakni Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial (tersangka kasus suap).
Hal yang juga manjadi sorotan publik, meski terbukti bersalah dan dinilai membocorkan kasus, Lili Pintauli Siregar tidak dicopot.
Dia hanya dikenakan sanksi pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.
Pemotongan gaji sekitar Rp 1,85 juta per bulan dari 100 juta lebih (gaji dan tunjangan) yang diterimanya per bulan.
(Kompas.com/Tribunnews.com/Tribun-Medan.com/TribunPalu.com)