Kisah Kelahiran Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo Saat 'Kiamat di Siang Hari' NTT 1992
Pada 12 Desember 1992 gelombang tsunami menghantam Pulau Flores bagian tengah dan timur. lebih dari 1.300 orang dinyatakan meninggal, 500 orang hilang
TRIBUNPALU.COM - Pada 12 Desember 1992 gelombang tsunami menghantam Pulau Flores bagian tengah dan timur.
Diberitakan Kompas.com (media 2018) lebih dari 1.300 orang dinyatakan meninggal, 500 orang hilang.
Serta ada ribuan bangunan rusak baik itu karena terjangan ombak atau terkena reruntuhan gedung.
Bencana tsunami tersebut juga merenggut ribuan jiwa.
Tepat pada 13 Desember 1992, lahirlah seorang anak bernama Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo.
Nama lelaki yang kini berusia 29 tahun itu mewakili jejak bencana di daerahnya.
Nama yang diabadikan sebagai penanda saat ia lahir pada tanggal gempa dan tsunami hebat terjadi sehari sebelumnya, 12 Desember 1992 di Nusa Tenggara Timur
Tragedi tesebut disaksikan langsung oleh oleh orang tua Eman, yakni Ignasius Laka Liuk Maran
Liuk Maran adalah ayah Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo.
Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana, di Desa Lamatutu, terletak di semenanjung Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Detik-detik bencana terjadi, Liuk Maran masih menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Saat itu dia mengaku mendengar suara keras disusul bumi yang bergoyang.
“Tiba-tiba saya mendengar suara seperti ledakan bom. Keras menggelegar,” ujar Liuk Maran.
Tak lama berselang, goyangan bumi mereda. Hanya getargetar kecil yang terasa. Merasa kondisi sudah terkendali, ia bergegas turun hutan.
Rumahlah tujuannya. Pikirannya tertuju pada Agustina sang istri, dan dua anaknya.
Namun belum sampai menjejak rumah dari arah bawah ia melihat orang-orang beteriak sambil berlari-lari panik.
Jauh di depan sana, perkampungan tak lagi terlihat. Semua rumah sudah luluh-lantak tersapu ombak raksasa.
Bersamaan surutnya air laut, Liuk Maran bergegas ke arah rumah.
Pada satu titik, ia melihat orang-orang berkerumunan di serumpun pohon bambu.
“Astaga! Ternyata mereka mengerubungi istri yang tersangkut di anak-anak pohon bambu yang menyerupai duri. Istriku pingsan. Segera saya menurunkan, membersihkan, dan mengeluarkannya dari
pepohonan bambu,” kisahnya.
Liuk Maran melakukan itu semua seorang diri. Orang-orang yang tadi berkerumun, sudah hilang. Rupanya, mereka pun segera menghambur ke berbagai penjuru untuk mencari keluarga mereka.
Liuk Maran membopong istrinya dari daerah pantai ke arah daratan. Agak berat ia rasa, karena istrinya memang sedang hamil tua.
Perkiraan dokter Puskesmas, satu-dua minggu lagi janin yang dikandung itu diperkirakan lahir.
Ia tidak tahu harus membawa ke mana, karena rumahnya sudah rata tanah.
Tak lama, istrinya sadar dan mengerang kesakitan.
“Maaf, saya sulit menggambarkan perasaaan hati. Saya shock sekaligus panik melihat keadaan yang mendadak kacau. Tak pernah sedikit pun membayangkan akan mengalami peristiwa seperti itu. Di hadapan saya istri mengerang kesakitan. Sebagian pikiran saya tertuju pada dua anak saya yang entah di mana. Haruskah aku tinggalkan istriku agar bisa mencari anak-anak? Atau haruskah aku berdiam di sisi istriku, sementara aku tak tahu nasib kedua anakku?” katanya.
“Sungguh... akal sehat tidak ada lagi. Yang ada hanya rencana mau mati habis,” lanjutnya.
Sang istri masih merintih dan menangis.
Namun sang suami bingung harus ke mana meminta pertolongan.
“Seketika sirna bayangan gila untuk bunuh diri bersama. Tendangan si jabang bayi seperti menyuntikkan
nyawa dan tekad, bahwa saya harus hidup. Istri saya harus hidup. Anak saya harus lahir selamat,” katanya bersemangat.
Instingnya sebagai manusia menuntun Liuk Maran menjadi “dukun bayi” bagi istrinya, demi kelahiran sang janin
buah cintanya.
Teguh hati ia membimbing Agustina melalui proses persalinan, sebuah proses antara hidup-danmati bagi seorang perempuan.
Pecah tangis bayi merah, menandai selesainya proses persalinan darurat di pagi itu.
Ia segera membungkus si jabang bayi dengan daun pisang.
“Yang terpikir hanya membungkus bayi dengan daun pisang. Kami tak punya apa-apa lagi. Baju
pun hanya yang melekat di badan,” ujarnya.
Seketika ia teringat nasib dua anaknya.
“Setelah persalinan. Bayi berbungkus daun pisang saya serahkan ke istri. Saya kasih bicara kepada istri dan anak yang baru lahir, ‘kamu mau mati atau hidup, tetap di sini jangan pernah
kemana-mana’,” ucapnya.
Satu anaknya berhasil ia temukan, dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Ia bopong jazad anaknya ke arah istri dan anak yang baru lahir. Setelah meletakkan jazad sang anak, ia bergegas lari turun mencari anak yang satu lagi.
Namun tak dapat ditemukan.
Begitulah kisah kelahiran sang anak yang kemudian menjadi topik perbincangan Liuk Maran dengan prajurit ABRI dari Jawa.
“Anak-anak ABRI dari Jawa datang memberi bantuan. Merekalah yang bekerja keras membuka lahan, membuka ladang, membuat permukiman baru. Saya yang sedikit bisa berbahasa Jawa, jadi cepat akrab dengan para tentara itu,” katanya.
“Emanual gempa Lagamaran,” ujar Liuk Maran, menyebut nama anaknya yang baru berumur kurang
lebih sebulan.
“Usul bapa... tambahkan nama tsunami Slamet Raharjo pada nama anak bapa," ucap salah seorang prajurit.
Si prajurit itu menjelaskan, bahwa yang terjadi bukan hanya gempa, tetapi juga tsunami.
Liuk Maran merasa usulan itu sebagai usulan yang baik, sekaligus ia anggap sebagai penghargaan sekaligus restu
'anak-anak ABRI dari Jawa' kepada anaknya.
Emanuel diambil dari bahasa Ibrani yang artinya “Allah beserta kita”.
gempa, menggambarkan gempa bumi yang terjadi saat kelahirannya.
Laka, adalah petikan nama sang ayah (Ignasius Laka Liuk Maran). Dalam bahasa lokal, Laka berarti kerusakan.
tsunami, gelombang tinggi yang terjadi pasca gempa, jelang kelahirannya.
Slamet, artinya selamat.
Raharjo, artinya sejahtera.
Kini, Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo sudah menginjak usia 29 tahun.
Ia menamatkan SD, SMP Negeri 1, dan SMA Negeri 1 di Tanjung Bunga Flores Timur.
Berbekal ijazah SMA, ia kini sudah bisa menjadi pejabat desa, sebagai Kaur Umum Desa Lamatutu.
Sedangkan, Kepala Desa Lamatutu kini dijabat oleh Sebastianus Pehu Koten.
Pada peristiwa 1992, sekitar 148 korban meninggal dunia di antaranya adalah warga Desa Lamatutu.
(*/ Tribun Palu)