Pilpres 2024
Jokowi Bisa Jadi King Maker di Luar Parpol pada Pilpres 2024, Begini Tanggapan PDI Perjuangan
Presiden Joko Widodo disebut-sebut bakal menjadi King Maker pada Pilpres 2024 mendatang.
TRIBUNPALU.COM - Presiden Joko Widodo disebut-sebut bakal menjadi King Maker pada Pilpres 2024 mendatang.
Menanggapi spekulasi yang berkembang, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menilai, saat ini yang seharusnya menjadi fokus utama negara adalah mengatasi pandemi dan persoalan global, bukan pilpres.
"Pertama, melihat konteks situasional bangsa dan negara. Saat ini fokus utama adalah berpacu mengatasi dampak pandemi dan ketidakpastian global. Hal inilah yang ditegaskan Presiden Jokowi sebagai kepentingan nasional yang harus didahulukan," kata Hasto kepada wartawan, Senin (23/5/2022).
Selain itu, Hasto beranggapan bahwa Jokowi juga meminta seluruh pihak untuk mengetahui tahapan Pemilu 2024 sebelum memberikan dukungan terhadap pasangan capres-cawapres.
Baca juga: Jokowi Diprediksi Bentuk Poros Baru Pilpres 2024 di Luar PDIP, Cueki Megawati Soekarnoputri?
Jokowi, menurut Hasto, juga ingin menjelaskan bahwa terdapat landasan pertimbangan strategis dalam mencari sosok pemimpin.
Pencarian sosok itu bisa diusung parpol maupun gabungan parpol atau yang biasa disebut koalisi.
"Selain itu, terkait dengan bagaimana pentingnya kalkulasi politik untuk memastikan kuatnya dukungan rakyat juga menjadi hal yang penting," tambah dia.
Bisa Bangun Poros Baru
Presiden Joko Widodo diprediksi bakal membentuk poros baru Pilpres 2024 di luar PDI Perjuangan.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda.
"Pak Jokowi memang berpotensi besar menjadi salah satu king maker di luar partai politik yang menentukan pada Pilpres 2024, di luar nama Bu Megawati, Pak Prabowo, Pak SBY, dan ada nama Pak Surya Paloh yang memegang tiket partai," kata Hanta.
Menurut Hanta, kekuatan Jokowi sebagai king maker terletak pada infrastruktur kekuasaan dan otoritas politiknya untuk mengumpulkan partai-partai politik.
Otoritas ini melekat pada diri Jokowi yang menjabat sebagai presiden 2 periode dan hingga kini masih berkuasa.
Setidaknya, ada dua pertimbangan yang memungkinkan Jokowi menjadi king maker. Pertama, Jokowi berkepentingan mencari suksesornya agar bisa meneruskan program-program kerja yang telah ia rintis.
Untuk mencapai tujuan pertama, Jokowi bakal melihat peluang kemenangan dari setiap figur yang digadang-gadang menjadi capres. Oleh karenanya, peta elektabilitas menjadi pertimbangan besar.
"Dan Pak Jokowi juga bakal mampu mengumpulkan dukungan partai politik untuk mendukung figur yang diinginkan," ujar Hanta.
Baca juga: Ibarat Mobil Sewaan, Anies Baswedan Diajak Demokrat Duet dengan AHY di Pilpres 2024
Kendati demikian, Hanta menilai, bukan tidak mungkin PDI-P dan Jokowi akan bersatu pada Pilpres 2024.
Jika Jokowi punya modal berupa otoritas untuk mengumpulkan infrastruktur kekuasaan melalui partai-partai politik, PDI-P memiliki kekuatan pada tahap kandidasi atau pencalonan.
Sebab, sebagai partai pemegang saham politik terbesar, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu punya tiket emas menuju panggung pilpres, bahkan tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain.
"Pada titik ini keduanya tentu berpeluang mengambil keputusan yang sama dalam mendukung satu figur," ucap Hanta.
Baik Jokowi maupun PDI-P, lanjut Hanta, akan mempertimbangkan banyak hal, namun dengan tujuan yang sama untuk menang.
"Pada intinya semua pertimbangan dalam menentukan pilihan politik akan rasional, yakni melihat peluang kemenangan," kata dia.
Sinyal Politik
Hanta pun berucap, Presiden Jokowi sengaja mengirimkan sinyal politik dukungannya untuk Ganjar Pranowo ketika berpidato di acara Rakernas V Projo.
"Pak Jokowi sebenarnya sudah cukup memberi sinyal politik dukungannya, tetapi Pak Jokowi memahami bahwa politik itu dinamis sehingga diselipkan dengan kalimat 'jangan terburu-buru'," kata Hanta.
Menurut Hanta, pernyataan Jokowi dalam rakernas bisa dimaknai sebagai 3 hal.
Pertama, meski telah memberikan sinyal dukungan, Jokowi ingin menjaga situasi politik tetap tenang di tengah kerja-kerjanya sebagai presiden.
Baca juga: Demokrat Banting Harga Relakan Ketum AHY Jadi Cawapres Anies, Tapi Ada Catatannya: Bisa Turun
Jika Jokowi secara vulgar menyampaikan dukungannya, jelas akan berdampak pada dinamika politik saat ini.
"Sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kerja-kerja pemerintah ke depan," ujar Hanta.
Kedua, Jokowi juga tidak ingin mengunci peluang dukungan kepada satu figur saja. Sebab, dia paham bahwa elektabilitas seorang tokoh akan bergerak dinamis.
Apalagi, ada banyak nama yang digadang-gadang punya potensi besar untuk maju sebagai calon presiden.
Merujuk data berbagai survei, selain Ganjar Pranowo, setidaknya ada 2 figur yang punya elektabilitas tinggi yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Dan Pak Jokowi tentunya ingin memberikan dukungan kepada figur yang berpotensi besar menang agar melanjutkan program beliau, sehingga perlu dicermati dinamika politiknya," tutur Hanta.
Ketiga, menurut Hanta, pernyataan Jokowi yang tidak secara lugas menyatakan dukungan politiknya adalah untuk menjaga dinamika politik di tubuh PDI-P.
Sebab, hingga kini PDI-P belum menentukan dukungannya.
"Jadi, Pak Jokowi masih melihat perkembangan dinamika politik jelang 2024, meski kemarin sedikit memberi sinyal di Rakernas Projo," kata dia.(*)
(Sumber: Tribun-Papua.com)