OPINI

Tutup TPL Sebagai Panggilan Iman dan Gerakan Kepemudaan untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan

Dalam pandangan antropologis, alam di sekitar Toba bukan semata lanskap fisik, melainkan ruang spiritual yang menjadi tempat bertemunya manusia.

Editor: Fadhila Amalia
Handover
OPINI - Di jantung Sumatera Utara, Danau Toba berdiri bukan hanya sebagai keajaiban alam, melainkan sebagai ruang teologis dan ekologis yang membentuk identitas orang Batak. 

Oleh: Ruben Cornelius Siagian

Penulis dan Peneliti

TRIBUNPALU.COM - Di jantung Sumatera Utara, Danau Toba berdiri bukan hanya sebagai keajaiban alam, melainkan sebagai ruang teologis dan ekologis yang membentuk identitas orang Batak.

Dalam pandangan antropologis, alam di sekitar Toba bukan semata lanskap fisik, melainkan ruang spiritual yang menjadi tempat bertemunya manusia, Tuhan, dan roh leluhur.

Namun sejak 1984, harmoni itu terganggu oleh industrialisasi besar-besaran yang dilegalkan melalui izin operasi PT Inti Indorayon Utama yang kemudian berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Empat dekade kemudian, luka ekologis itu belum sembuh. Di balik jargon pembangunan dan kesejahteraan, masyarakat adat terus kehilangan ruang hidup, sumber air, dan makna identitasnya.

Gerakan “Tutup TPL” bukan sekadar seruan emosional, tetapi panggilan moral, teologis, dan ilmiah untuk meninjau ulang seluruh paradigma pembangunan yang mengorbankan manusia dan alam demi akumulasi modal.

Akar Struktural Konflik

Sejak awal berdirinya, TPL menjadi contoh paling jelas dari ekstraktivisme yang dilembagakan secara legal.

Adapun total luas konsesi mencapai hampir 300.000 hektare, perusahaan ini menguasai sebagian besar wilayah hutan di sekitar Toba.

Setiap revisi izin sembilan kali sepanjang tiga dekade menunjukkan pola kebijakan yang lebih berpihak pada korporasi ketimbang pada rakyat.

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa sejak pertama kali ditetapkan pada 23 Oktober 1984 melalui SK HPH No. 203/Kpts-IV/84 oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo, luas konsesi PT Inti Indorayon Utama yang kini menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengalami perubahan berulang kali melalui sembilan kali revisi izin hingga tahun 2020.

Dalam teori politik-ekologi, ekstraktivisme seperti ini memperlihatkan bagaimana negara dan korporasi berkolaborasi dalam mengubah alam menjadi komoditas, dengan dalih
pembangunan.

Proses legalisasi ini membungkus perampasan ruang hidup masyarakat adat dengan retorika “kepastian hukum”.

Sehingga hukum bukan lagi pelindung, tetapi alat legitimasi ketimpangan struktural.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved