OPINI

Mempertimbangkan Penerapan Reverse Mechanism Selection dalam Rekrutmen Penyelenggara Pemilu

Setidaknya terdapat 30 lembaga negara yang pengisian jabatannya melalui campur tangan DPR.

Editor: mahyuddin
dok pribadi
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Datokarama Palu, Dr Sahran Raden, S.Ag, SH, MH. 

Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Datokarama Palu

TRIBUNPALU.COM, PALU - Pengaturan sistem dan mekanisme pengisian pejabat negara oleh DPR masih memiliki kelemahan dan menuai persoalan. 

Kelemahan itu dapat dilihat dari aspek kelembagaan, personel dan budaya pejabat negara di Indonesia.  

Masalah tersebut disebabkan tidak terdapatnya mekanisme secara rinci yang lebih membumi dalam mekanisme rekrutmen atau seleksi pejabat negara secara komprehensif.  

Utamanya mengenai konsep kelembagaan, persyaratan dan mekanisme seleksi pejabat publik.  

Setidaknya terdapat 30 lembaga negara yang pengisian jabatannya melalui campur tangan DPR.

Numenklaturnya pun berbeda beda yakni; diajukan, diusulkan, disetujui, dipilih, dipertimbangkan bahkan dikonsultasikan.

Baca juga: Longki Djanggola Prihatin Banyak Penyelenggara Pemilu Harus Hadapi DKPP

Tidak jarang dalam rekrutmen pejabat negara, seringkali kepentingan politik lebih dominan daripada profesionalitas dan integritas serta rekam jejak  calon terpilih.

Termasuk pengisian KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu juga di DPR.  

Presiden mengajukan 14 nama hasil seleksi dari Tim seleksi KPU yang dibentuk Presiden kepada DPR.

Selajutnya calon anggota KPU dipilih dan ditetapkan tujuh nama berdasarkan urutan jumlah perolehan suara tertinggi oleh DPR.

Sesuai ketentuan pasal 25 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa ayat (1) Pemilihan anggota KPU di DPR dilakukan dalam walrtu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas calon anggota KPU dari Presiden. 

Ayat (2) DPR memilih calon anggota Kpu berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan.

Ayat (3) DPR menetapkan tujuh nama calon anggota KPU berdasarkan urutan peringkat teratas dari 14 nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagai calon anggota KPU terpilih.  

Dampak hukum terhadap mekanisme pemilihan anggota KPU oleh DPR telah mengakibatkan adanya konflik kepentingan oleh Partai Politik, dimana Parpol menjadi peserta pemilu dalam kompetisi electoral di Indonesia.

Mekanisme tersebut telah berdampak terhadap independensi dan kemandirian KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang secara konstitusional dibentuk dengan sifat kelembagaan yang mandiri, nasional dan independent.

Mekanisme seleksi sebagaimana dalam ketentuan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017, berpotensi adanya tarik menarik kepentingan politik dalam semua tahapan Pemilu.

Kuatnya intervensi politik terhadap KPU dalam tahapan pemilu menjadikan integritas dan kemandirian KPU tercedarai sehingga mendelegitimasi KPU dalam menyelanggarakan pemilu di Indonesia.

Potensi terganggunya tahapan pemilu itu terutama pada tahapan verifikasi partai politik sebagai peserta pemilu dan tahapan pencalonan.

Minimnya akses yang diberikan KPU kepada Bawaslu dan publik pada tahapan verifikasi faktual menjadikan ketiadaan proses pengawasan yang ideal dan meyakinkan; soal pelaksanaan verifikasi faktual partai politik berada di ruang yang gelap. 

Sejak pelaksanaan tahapan pemilu mulai dari verifikasi partai politik peserta pemilu 2024 sampai dengan tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta pasca pemilu 2024, dengan diterbitkannya Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025.

Aturan itu yang pada intinya menetapkan bahwa 16 jenis dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden, termasuk ijazah yang dilegalisasi, dianggap sebagai informasi publik yang dikecualikan.

Sorotan dan kritikan tajam berbagai kalangan terhadap KPU merupakan titik balik dari seluruh “kisruhnya”penyelenggaraan pemilu tahun 2024. 

Penilaian publik selajutnya menilai salah satu yang perlu dievaluasi dan menjadi catatan kritis adalah sistem rekrutmen seleksi penyelenggara pemilu

Kedudukan KPU dan Bawaslu dalam Negara Demokrasi 

Dalam negara hukum, KPU dan Bawaslu memiliki kedudukan setara dengan lembaga negara lainnya.

KPU dan Bawaslu dimasukan dalam kategori sebagai lembaga negara bantu atau lembaga negara lapis kedua (Auxalary State agency) yang dalam konstitusi sebagai lembaga negara independent mandiri dan bersifat nasional.

Dalam negara hukum Indonesia, KPU dan Bawaslu memiliki kedudukan sebagai lembaga negara independen yang disahkan secara yuridis oleh Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22E ayat 1, dan diatur lebih lanjut melalui undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu secara demokratis. 

KPU memiliki kewenangan utama dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk penetapan daftar pemilih, pengaturan mekanisme pemilu, dan penghitungan suara, serta pembuatan Peraturan KPU (PKPU) sebagai produk hukum pelaksanaan pemilu yang memiliki kekuatan hukum mengikat. 

KPU bertugas menjalankan proses pemilu secara adil dan transparan sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan yang menjamin asas negara hukum dan demokrasi.

KPU berperan sebagai penyelenggara utama pemilu, sementara Bawaslu berfungsi sebagai pengawas independen untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.

Serta memiliki kewenangan penyelesaian sengketa administrasi pemilu dan penyelesaian sengketa proses pemilu.

Baca juga: DKPP Sidang Komisioner KPU Sulteng Terkait Dugaan Pelanggaran Etik

Komisi negara seperti KPU dan Bawaslu memang dipilih oleh DPR sebagai bagian dari mekanisme seleksi yang diatur oleh undang-undang.

Namun, ada catatan kritis terhadap keterlibatan DPR dalam memilih komisioner KPU dan Bawaslu, sebab KPU dan Bawaslu  harus bersifat independen dan terbebas dari pengaruh politik, terutama dari partai politik yang ada di DPR.

Kewenangan DPR dalam seleksi ini dimaksudkan sebagai fungsi pengawasan untuk menjaga keseimbangan dan mencegah dominasi satu institusi dalam pengisian lembaga negara.

Meski demikian, keterlibatan DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan politik dalam proses seleksi, yang bisa mengurangi kredibilitas dan independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu mandiri dan nasional.

Model seleksi Penyelenggara Pemilu di berbagai Negara

Mekanisme seleksi penyelenggara pemilu di berbagai negara memiliki model yang berbeda-beda.

Pelajaran dari perbandingan tersebut dapat menjadi referensi bagi Indonesia untuk memperkuat sistem seleksinya.  

Sebagian negara seperti Sierra Leone, Kenya, dan Ukraina menggunakan model seleksi di mana calon anggota KPU diajukan tim seleksi independen kemudian disetujui oleh parlemen.

Model itu mengedepankan keseimbangan antara keterlibatan lembaga legislatif dan kemerdekaan seleksi oleh tim independen.

Negara seperti Botswana dan Guatemala melibatkan lembaga non-negara dan ahli hukum dalam proses rekrutmen dan seleksi calon untuk menjamin profesionalisme dan mengakomodasi suara masyarakat sipil.  

Ada juga model di negara seperti India, Malaysia, Senegal, dan Zambia yang pengangkatan komisionernya langsung oleh aktor negara atau pemerintah tanpa perlu persetujuan legislatif, yang memerlukan mekanisme kontrol berbeda untuk menjamin independensi.

Dalam konteks Indonesia, saat ini mekanisme seleksi KPU melibatkan uji kelayakan dan kepatutan setelah administrasi, dengan adanya seleksi oleh DPR yang disorot karena potensi pengaruh politis.

Namun, pakar mendorong agar seleksi lebih independen dan mengedepankan uji publik dan transparansi agar anggota KPU benar-benar kredibel dan mampu menjalankan tugas tanpa tekanan politik.

Mekanisme seleksi komisioner KPU yang ideal harus transparan, independen, berorientasi integritas dan kemampuan teknis, serta mengutamakan akuntabilitas untuk menjaga kualitas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilu.

Bersifat transparan dan terbuka untuk publik, sehingga memungkinkan pengawasan masyarakat dan mencegah praktik politik atau intervensi yang merugikan.

Model seleksi terbuka dengan tim independen dianggap lebih baik dibanding seleksi tertutup yang didominasi penunjukan politis.

Mengutamakan aspek integritas, independensi, dan kompetensi teknis calon dalam bidang pemilu, ketatanegaraan, dan kepemiluan.

Penelusuran rekam jejak serta fit and proper test menjadi langkah penting.

Tidak hanya berorientasi pada kemampuan akademis tetapi juga pengalaman dan pemahaman menyeluruh terhadap pemilu dan demokrasi.

Menghindari konflik kepentingan dan memastikan calon tidak berafiliasi secara politik untuk menjaga netralitas dalam penyelenggaraan pemilu.

Menggunakan tim seleksi yang benar-benar memenuhi standar kualitatif untuk melakukan penilaian yang bertanggung jawab dan akuntabel.

Model reverse mechanism selection, Catatan Perubahan 

Dari pengalaman berharga dari berbagai negara demokrasi terhadap model seleksi penyelenggara pemilu dan sistem seleksi di Indonesia, maka negara perlu menata kembali sistem seleksi penyelenggara pemilu.  

Model Reverse Mechanism Selection diterapkan sebagai sebuah konsep untuk mereformasi mekanisme seleksi komisioner KPU dan Bawaslu agar lebih independen. 

Dalam model ini, tim seleksi independen memegang otoritas keputusan akhir dalam pemilihan anggota komisi, sedangkan DPR hanya memiliki peran nominatif dan administratif tanpa kewenangan menentukan hasil akhir.

Model ini membalikkan struktur kewenangan yang sebelumnya memberikan keputusan akhir kepada DPR, yang berpotensi memunculkan intervensi politik dan mengurangi independensi penyelenggara pemilu

Penerapan model ini berfokus pada prinsip transparansi, efisiensi, dan keadilan, dengan tujuan menjaga kredibilitas dan netralitas anggota komisi penyelenggara pemilu.

Meskipun belum banyak tercatat penerapan model reverse mechanism selection di negara lain.  

Secara eksplisit, konsep ini merupakan bentuk rekonstruksi tata kelola seleksi yang menggabungkan praktik terbaik dari negara-negara yang mengedepankan seleksi independen dan keterbukaan.

Model ini diusulkan untuk memperkuat prinsip check and balances, mengurangi dominasi politik, serta meningkatkan akuntabilitas dan netralitas proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu di Indonesia.

Dengan demikian, model Reverse Mechanism Selection bukan sekadar teori.

Tetapi juga solusi konkret untuk mereformasi sistem seleksi komisioner yang selama ini rentan terhadap politisasi, menjadikan tim seleksi independen sebagai aktor utama dalam menetapkan kandidat terbaik bagi lembaga penyelenggara pemilu.

Langkah hukum yang diperlukan untuk menerapkan model Reverse Mechanism Selection di Indonesia meliputi beberapa aspek penting berdasarkan analisis hukum normatif dan perundang-undangan yang ada. 

Pertama, perlu dilakukan rekonfigurasi norma hukum yang mengatur seleksi anggota KPU dan Bawaslu, terutama dalam merevisi undang-undang pemilu nantinya.

Perlu kebijakan regulasi agar memberi otoritas keputusan akhir seleksi kepada tim seleksi independen dan membatasi peran DPR hanya pada fungsi nominatif dan administratif. 

Kedua, diperlukan amendemen konstitusional atau legislasi terkait yang menguatkan prinsip checks and balances dengan penegasan mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan bebas intervensi politik. 

Ketiga, pembentukan atau penguatan tim seleksi independen dengan kriteria integritas dan profesionalisme tinggi melalui regulasi pelengkap juga sangat penting agar model ini dapat diimplementasikan secara efektif dan diakui secara hukum. 

Keempat, pelibatan masyarakat sipil dan pengawasan publik dalam proses seleksi perlu diatur secara eksplisit agar mekanisme ini dapat berjalan demokratis dan mencegah praktik politik yang merugikan independensi penyelenggara pemilu.

Keseluruhan langkah hukum ini menjadi landasan agar model Reverse Mechanism Selection dapat diadopsi secara konstitusional dan aplikatif, serta berkontribusi nyata dalam reformasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved