Mulai 1 Maret 2019, BPJS Kesehatan Tak Lagi Tanggung Obat untuk Kanker Usus
Guru besar kedokteran UI, Prof. Aru Wisaksono Sudoyo, mengatakan jumlah penderita kanker usus sudah mencapai 10% dari semua jenis kanker.
TRIBUNPALU.COM - Mulai 1 Maret 2019 obat untuk kanker usus atau kolorektal tak lagi ditanggung layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/707/2028 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Maruf menjelaskan tidak ditanggungnya obat kanker usus tidak akan berpengaruh signifikan terhadap BPJS Kesehatan.
Hal ini karena kasus kanker usus dan pembiayaan obat jenis ini tidak berjumlah signifikan.

"Pembiayaan obat kanker usus berkisar antara Rp 50 miliar sampai Rp 60 miliar setahun.”
“Gambaran biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2017 itu Rp 84 triliun," kata Iqbal kepada awak media pada Kamis (22/02/2019).
Menurut Iqbal, pasien kanker usus masih bisa mendapatkan pengobatan dengan kemoterapi standar dan/atau radioterapi.
Pasalnya, menggunakan kemoterapi standar juga sudah ada di Formularium Nasional (Fornas).
Fornas adalah suatu daftar penyediaan jenis dan harga obat yang menjadi acuan untuk pelayanan kesehatan JKN 2014.
"Kalau pakai kemoterapi standar sudah ada di Fornas semua. Jadi pasien masih bisa mendapatkan pengobatan dengan kemoterapi standar dan/atau radioterapi," kata Iqbal.
Keputusan yang dikeluarkan pada 19 Desember 2018 itu menyebut ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan.
Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker.
Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar).
Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
"Pada prinsipnya, mengenai obat kanker usus tak lagi ditanggung BPJS, pihak BPJS Kesehatan senantiasa berusaha untuk, comply dengan regulasi yang mengatur program," tandas Iqbal.
Sementara, pada Mei 2018, Guru besar kedokteran UI, Prof. Aru Wisaksono Sudoyo, mengatakan jumlah penderita kanker kolorektal (usus besar) sudah mencapai 10% dari semua jenis kanker atau sekitar 1,4 juta orang yang menderita penyakit tersebut.
Diperkirakan, pada 2019, akan terjadi kenaikan angka kejadian kanker yang sangat besar di negara berkembang.
Penderita penyakit kanker tersebut terus meningkat seiring dengan perubahan lingkungan dan gaya hidup.
Bahkan, di Indonesia, kanker kolorektal sudah bercokol di urutan ketiga kanker yang paling sering menyerang, setelah kanker paru-paru dan kanker payudara.
"Bahaya kanker lebih besar daripada AIDS dan HIV. Angkanya terus bergulir. Terutama kanker kolorektal, yang meningkatnya cukup tinggi," kata Aru.
Aru menjelaskan, kanker ini erat kaitannya dengan kerentanan genetik dan faktor lingkungan.
Artinya, gaya hidup sangat memengaruhi keganasan kanker kolorektal.
Bahkan sebagian besar bersifat sporadis dan hanya sebagian kecil bersifat herediter.
"Kejadian kanker ini berubah dengan zaman," ucapnya.
Kejadian kanker kolorektal di Indonesia semakin meningkat di mana lebih dari 30% penderitanya adalah kaum muda yang berada di usia produktif atau di bawah 40 tahun.
"Peningkatan kanker kolorektal karena gaya hidup, terutama kebiasaan makan dan merokok, yang belum berkurang," ujarnya.
Kanker kolorektal bisa dicegah dengan gaya hidup yang sehat.
Kanker menjadi masalah kesehatan terbesar di dunia, khususnya di Indonesia.
Angka kejadian kanker akan meningkat sampai 80%pada 2030.
"Kalau tidak ditanggulangi secara serius, bisa sebanyak itu peningkatannya," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul "Catat! Per 1 Maret 2019, Obat Kanker Usus Tak Lagi Ditanggung BPJS"