Donald Trump Ubah Aturan Drone Perang AS, Transparansi Laporan Kematian Warga Sipil Terancam

Donald Trump diam-diam menandatangani perintah eksekutif yang mengubah cara pemerintahnya melaporkan kematian akibat drone AS.

Anthony Behar via time.com
Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump. 

TRIBUNPALU.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump diam-diam menandatangani perintah eksekutif untuk mengubah cara pemerintahnya melaporkan kematian akibat drone AS.

Hal ini bisa berarti, AS kini dapat membunuh ribuan warga sipil secara sembunyi-sembunyi.

Mengutip laman This is Insider, Donald Trump menandatangani perintah eksekutif tersebut pada hari Rabu (6/3/2019).

Donald Trump mencabut persyaratan era Barack Obama yang diberlakukan bagi Direktur Intelijen Nasional untuk merilis laporan tahunan jumlah korban sipil akibat operasi Amerika Serikat di daerah-daerah non-pertempuran di seluruh dunia.

Area-area itu meliputi sebagian wilayah Yaman, Somalia, dan Pakistan.

Persyaratan ini diperkenalkan oleh Presiden Barack Obama pada 2016, saat ia dituntut untuk lebih transparan tentang peningkatan penggunaan drone AS.

Pemerintah AS akan terus melaporkan kematian di "wilayah permusuhan aktif" seperti Irak dan Suriah.

Dilaporkan sebelumnya, ada 117 kematian warga sipil di luar daerah ini antara 2009 dan 2016.

Selama beberapa tahun, angka kematian tersebut hanya dinyatakan sebagai kisaran, bukan jumlah yang tepat.

Namun, pemerintahan Donald Trump sama sekali tidak merilis laporan angka kematian ini pada 2017.

Kelompok HAM mengklaim angka-angka tersebut tidak menunjukkan jumlah keseluruhan di lapangan.

Sementara, persyaratan kongres bagi militer untuk melaporkan jumlah kematian warga sipil di daerah-daerah pertempuran aktif akan tetap diberlakukan.

Meski begitu, para ahli mengatakan sistem baru yang ditandatangani Donald Trump akan gagal menangkap serangan oleh lembaga-lembaga tertentu seperti CIA, dan bahkan malah menunjukkan penurunan transparansi laporan angka kematian warga sipil.

"Serangan yang dilakukan oleh badan pemerintah lain seperti CIA ada di bawah persyaratan ini. Itulah maksud dari perintah eksekutif itu," Rita Siemion, penasihat hukum internasional untuk kelompok Human Rights First, mengatakan kepada Politco.

Hina Shamsi, direktur proyek keamanan nasional American Civil Liberties Union, mengatakan keputusan itu "sangat salah dan berbahaya bagi akuntabilitas publik," lapor Associated Press.

"Keputusan ini akan menyembunyikan dari publik penghitungan pemerintah AS mengenai jumlah total kematian yang disebabkannya setiap tahun dalam program kekuatan mematikannya."

Anggota kongres Adam Schiff, seorang Demokrat sekaligus ketua House Intelligence Committee, mengatakan, "Tidak ada pembenaran untuk mengakhiri praktik yang telah berjalan pada era Obama itu,"

Adam Schiff menyebut praktik tersebut sebagai 'ukuran penting untuk transparansi publik', lapor BBC.

Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih mengatakan kepada Associated Press, pemerintah AS berkomitmen penuh untuk "meminimalisir - sebisa mungkin - jumlah korban masyarakat sipil dan mengakui tanggung jawab yang terjadi selama operasi militer."

Akurasi laporan jumlah korban jiwa masyarakat sipil yang dipertanyakan

Menurut laporan tahunan Direktur Intelijen Nasional, yang dirilis setiap tahun sejak 2016, ada sekitar 64 hingga 116 kematian sipil akibat serangan drone AS di zona non-tempur antara 2011 dan 2015.

Serta satu kematian warga sipil pada 2016.

Laporan tahun 2017 tidak dirilis, meskipun perintah untuk merilis laporan kematian warga sipil tersebut masih berlaku.

Jumlah korban masyarakat sipil untuk setiap tahun biasa dirilis pada Mei tahun berikutnya.

Namun saat ini, laporan tahun 2018 belum dirilis.

Mayoritas kematian warga sipil dari drone atau pesawat tak berawak AS terjadi di wilayah pertempuran.

Biro Investigasi Jurnalisme memperkirakan ada sekitar 769 hingga 1.725 warga sipil yang tewas sejak 2004, berdasarkan analisis data dari pejabat pemerintah, militer, dan intelijen serta laporan media dan lapangan yang dianggap kredibel.

Biro tersebut mengatakan, ada 2.243 serangan pesawat tak berawak selama dua tahun pertama masa kepresidenan Donald Trump.

Bandingkan dengan 'hanya' 1.878 serangan yang terjadi selama delapan tahun masa jabatan penuh Barack Obama.

Kelompok-kelompok hak asasi dan pemantauan mempertanyakan angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah AS.

Menurut mereka, angka ini tidak mewakili jumlah sebenarnya korban masyarakat sipil akibat operasi yang didukung AS atau bahkan dilakukan Amerika Serikat sendiri.

Daphne Eviatar, direktur Amnesty International USA, mengatakan kepada New York Times pada 2018, "Departemen Pertahanan telah menganggap sebagian besar klaim korban sipil tidak dapat dipercaya tanpa pernah benar-benar menyelidikinya."

"Karena itu, jumlah korban masyarakat sipil yang dilaporkan lebih kecil dibandingkan yang terjadi sesungguhnya."

(TribunPalu.com/Rizki A. Tiara)

Sumber: Tribun Palu
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved