Pangeran Harry dan Meghan Markle Berencana Punya Maksimal 2 Anak, Perubahan Iklim Jadi Alasan
Duke dan Duchess of Sussex berencana memiliki maksimal dua orang anak karena alasan perubahan iklim dan krisis lingkungan.
TRIBUNPALU.COM - Pangeran Harry dan Meghan Markle dikaruniai putra pertama pada 6 Mei 2019 lalu dan diberi nama Archie Harrison Mountbatten-Windsor.
Namun, Pangeran Harry dan Meghan Markle berencana untuk tidak memberikan banyak adik kepada Archie.
Keduanya pun memiliki alasan yang krusial di balik rencana ini.
Duke dan Duchess of Sussex berencana memiliki maksimal dua orang anak karena alasan perubahan iklim dan krisis lingkungan.
Dikutip TribunPalu.com dari laman The Sun, hal ini diungkapkan Pangeran Harry saat mengobrol dengan pakar simpanse sekaligus aktivis konservasi alam, Dr Jane Goodall.
Percakapan ini digelar untuk edisi spesial majalah Vogue versi Inggris (British Vogue).
Edisi kali ini bahkan ikut diedit oleh Meghan Markle.
Edisi British Vogue yang keluar pada September 2019 tersebut juga menyertakan beberapa tokoh wanita pembawa perubahan, seperti aktivis perubahan iklim Greta Thunberg dan PM Selandia Baru Jacinda Ardern.

Dalam obrolannya dengan Dr Jane Goodall, Pangeran Harry mengakui, sikap dan cara berpikirnya terhadap Planet Bumi telah berubah setelah kelahiran Archie.
Pangeran Harry mengatakan, "Saya pikir, agak aneh juga, berkat orang-orang yang saya temui dan tempat-tempat di mana saya sangat beruntung bisa datangi, saya selalu memiliki koneksi dan kecintaan pada alam. Saya melihatnya dalam perspektif yang berbeda sekarang, tanpa keraguan lagi."
"Saya selalu ingin mencoba dan meyakinkan hal itu, bahkan sebelum memiliki dan berencana punya anak..."
Itulah saat Jane menanyakan, berapa jumlah anak yang Pangeran Harry inginkan.
Seketika itu pula, Pangeran Harry menjawab, "Dua, maksimal."
"Saya selalu berpikir: tempat (Bumi, red.) ini adalah pinjaman. Dan pastinya, sebagai makhluk yang berakal dan berkembang seperti seharusnya, kita harus bisa meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk generasi selanjutnya," lanjut Pangeran Harry.
Saat berdiskusi tentang krisis lingkungan dan sumber daya yang semakin menipis di Bumi, sebagaimana dikutip dari laman CNN, Pangeran Harry mengatakan, "Apa yang kami ingin ingatkan adalah hal-hal itu saat ini sedang terjadi. Kita benar-benar hidup dalam kondisi ini. Ibaratnya, kita adalah katak yang hidup di dalam air dan air itu saat ini sedang mendidih. Ini sangat mengerikan."
Dalam pandangannya kali ini, Pangeran Harry memang berbeda dengan Pangeran William dan Kate Middleton yang memiliki tiga orang anak.
• Hampir Tak Pernah Dilanggar, Ini Alasan Larangan Foto Selfie bagi Keluarga Kerajaan Inggris
• Semasa Meghan Markle Kecil, Sang Ibu Kerap Dapat Pertanyaan yang Menyakitkan dan Dikira Pengasuh
• 6 Perbedaan Kisah Cinta Pangeran William-Kate Middleton dan Pangeran Harry-Meghan Markle
Lalu, apa hubungannya memiliki jumlah anak lebih banyak dengan krisis lingkungan dan perubahan iklim yang saat ini sedang kita hadapi?
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2017 menunjukkan, memiliki anak lebih sedikit menjadi satu di antara beberapa cara yang efektif untuk mengurangi jejak karbon.
Diperkirakan, setiap manusia menghasilkan jejak karbondioksida sebesar 58 ton per tahun.
Diharapkan, dengan berkurangnya jumlah anak akan turut membantu mengurangi jejak karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim dan pemanasan global.
Hal ini dicantumkan dalam sebuah cuitan yang diunggah akun Twitter salah satu saluran breaking news yang dijalankan Al Jazeera Media Network, @ajplus pada Rabu (31/7/2019).
Tentunya, perubahan iklim tak hanya disebabkan oleh jejak karbon yang dihasilkan manusia, tetapi juga konsumsi sumber daya alam yang berlebihan dalam skala masif.
Saat ini, dampak perubahan iklim semakin terasa.
Mengutip laman This is Insider, perubahan iklim telah menyebabkan sejumlah wilayah di Eropa mengalami gelombang panas ekstrem selama Juli 2019.
Negara-negara seperti Jerman, Belgia, dan Belanda mengalami suhu udara tertinggi yang sebelumnya belum pernah mereka alami.
Setidaknya, 10 orang dilaporkan tewas akibat gelombang panas Juli 2019.
Sementara itu, wilayah Arktik saat ini mengalami kebakaran hebat.
Kebakaran melanda bagian ujung utara Rusia dan Greenland sejak bulan Juni 2019, saking masifnya kebakaran tersebut dapat terlihat dari satelit di ruang angkasa.
Sebenarnya, kebakaran hutan dan gelombang panas merupakan fenomena alam yang cukup biasa.
Namun, meningkatnya suhu udara akibat perubahan iklim memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan dan gelombang panas.
Bulan Juni 2019 tercatat sebagai bulan Juni terpanas sepanjang sejarah Bumi, temperatur udara mencapai hampir 10 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan rata-rata temperatur normal.
Sementara, tahun 2019 secara keseluruhan diperkirakan mendekati peringkat tahun terpanas ketiga secara global, menurut Climate Central.
Tahun 2018 menjadi tahun terpanas keempat setelah 2016 (suhu rata-rata global paling tinggi), 2015, dan 2017.
Tahun 2018 juga menjadi tahun terpanas bagi samudera dan lautan di seluruh dunia.
Grafik dari NASA berikut menunjukkan gambaran anomali temperatur udara global dari 1880 hingga 2018.
Para ilmuwan juga melaporkan adanya pencairan es besar-besaran di gletser-gletser Arktik dan Antartika.
Laju pencairan es ini bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Lapisan es di Greenland saat ini mengalami pencairan enam kali lebih cepat dibandingkan tahun 1980an.
Sementara, kecepatan pencairan es di Kutub Selatan kini juga meningkat enam kali lipat.
(TribunPalu.com/Rizki A)