Karhutla 2019, Citra Satelit NASA Menangkap Pekatnya Kabut Asap yang Selimuti Pulau Kalimantan
Pekatnya kabut asap akibat karhutla yang menyelimuti Pulau Kalimantan pun terlihat dari luar angkasa dan ditangkap oleh citra satelit NASA.
Jika terbakar, api di lahan gambut akan sangat sulit untuk dipadamkan.
Satelit Aqua telah mendeteksi adanya kebakaran di wilayah Kalimantan sejak bulan Agustus 2019.
Namun, jumlah dan intensitas titik kebakaran di wilayah ini meningkat pada pekan pertama September 2019.
• 5 Provinsi di Indonesia yang Alami Kebakaran Hutan Terparah Tahun 2019, Riau hingga Kalimantan Barat
• 5 Fakta Terkini Kasus Kabut Asap Akibat Karhutla di Sumatra dan Kalimantan, 6.025 Warga Alami ISPA

Sejatinya, kebakaran hutan adalah fenomena yang umum terjadi pada September dan Oktober.
Namun, kebakaran hutan dan lahan akan menjadi lebih buruk karena petani membakar hutan untuk dijadikan lahan pertanian atau peternakan.
Di Kalimantan, biasanya hutan dibakar untuk membuka lahan perkebunan sawit atau pulp akasia.
Citra satelit menunjukkan parahnya kabut asap pada karhutla kali ini mirip dengan situasi karhutla yang terjadi pada 2015.
Hal tersebut diungkapkan oleh Robert Field, peneliti dari Institut untuk Penelitian Luar Angkasa Goddard NASA atau Goddard Institute for Space Studies.

Masih dikutip dari website Earth Observatory, Robert Field mengungkapkan, "Kebakaran benar-benar terjadi dalam skala besar. Hal ini mengingatkan peristiwa tahun 2015, meski pekatnya asap baru mulai beberapa minggu terakhir tahun ini berkat hujan pada pertengahan Agustus."
Saat ini, Robert Field bekerja pada sebuah proyek yang bertujuan untuk mengetahui berbagai variabel meteorologis mempengaruhi adanya kebakaran vegetasi.
Sebagai bagian dari proyek ini, Robert Field bekerja di proyek terapan NASA untuk mengintegrasikan pengukuran curah hujan berbasis satelit dengan sistem monitoring bahaya kebakaran yang digunakan oleh BMKG.
Menurut Robert Field, jumlah kebakaran yang tercatat satelit MODIS dan VIIRS memang belum setinggi kasus tahun 2015.
Namun, peningkatan akitivitas harian saat ini sebanding dengan tahun 2015.
Mesk begitu, Robert Field tetap mengingatkan bahwa sebagian besar kebakaran ini terjadi di bawah tanah atau area yang diselimuti kabut asap begitu pekat dan tak bisa dideteksi oleh satelit.
Selama dua kebakaran besar terakhir yang terjadi di Indonesia, yakni pada 1997 dan 2015, kondisi El Nino yang menyebabkan kekeringan merupakan faktor utama yang memperburuk kebakaran.
Namun berbeda dengan tahun 2019 kali ini di mana kondisi El Nino tercatat netral.
Kemungkinan besar, osilasi permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia adalah pemicu kekeringan tahun ini.
(TribunPalu.com/Rizki A.)