Edhy Prabowo Akan Revisi Ekspor Benih Lobster, Susi Pudjiastuti Tak Mau Samakan Lobster dengan Nikel
Susi Pudjiastuti menanggapi sebuah artikel berita yang menyebutkan, Edhy Prabowo menyamakan ekspor benih lobster dengan nikel.
TRIBUNPALU.COM - Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo melontarkan wacana mengenai revisi larangan ekspor benih lobster.
Menurut Edhy Prabowo, ekspor benih lobster perlu dibuka, karena ia mendapati benih lobster yang diimpor ke Vietnam dari Singapura, 80 persennya berasal dari Indonesia.
Inilah yang membuat harga benih lobster melonjak drastis, dari Rp50.000 - Rp70.000 per benih menjadi Rp139.000 per benih.
"Coba kalau kita mengarahkan ini, me-manage ini dengan baik, kita atur rapi-rapi, kita buat aturan. Langsung dagangnya dari Indonesia ke Vietnam. Baru kemudian kita hitung berapa pajak yang harus mereka bayar," tutur Edhy.
Wacana ini pun sudah mendapat pro dan kontra dari berbagai pihak, meski masih dalam proses kajian.
Salah satu kritikan yang paling keras datang dari mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti.
Sejak awal wacana ini mencuat, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti telah mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Susi membagikan tanggapannya melalui akun Twitter @susipudjiastuti pada Selasa (10/12/2019).
Wanita yang akrab dipanggil Bu Susi ini menyebut, lobster memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sehingga, kelestarian lobster harus dijaga.
Apalagi mengingat Indonesia yang telah dianugerahi lautan yang luas dan kaya akan sumber daya, Susi mengingatkan hendaknya manusia tidak boleh tamak.
Manusia tidak boleh serakah hanya karena tergiur dengan harga benih lobster yang melonjak drastis di pasar luar negeri.
"Lobster yg bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita untuk menual bibitnya; dengan harga seperseratusnyapun tidak. Astagfirulah .. karunia Tuhan tidak boleh kita kufur akan nikmat dr Nya."
Dalam cuitan tersebut, Susi Pudjiastuti juga menyertakan video menu makanannya berupa olahan lobster.
Susi menjelaskan, harga lobster yang ia santap memiliki nilai jual tinggi.
Lobster dengan berat antara 400 hingga 500 gram biasa dijual dengan harga rata-rata Rp600 ribu hingga Rp800 ribu.
Susi pun membandingkan harga tersebut dengan harga bibit yang dijual ke Vietnam dengan harga yang lebih murah.
Yakni hanya berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp130 ribu.
"Bibitnya diambil dan dijual hanya dengan Rp 30.000 saja. Berapa rugi kita? Apalagi kalau lobsternya mutiara jenisnya. Di mana satu kilo mutiara bisa sampai Rp 4-5 juta," ucap Susi.
Dia menuturkan, seorang nelayan hendaknya tidak boleh bodoh melihat harga benih lobster yang sangat kecil mencapai Rp 100.000. Padahal, kalau dibesarkan, harganya lebih mahal dari itu.
"Satu ekor 400 gram itu sudah berapa harganya? Rp 1 juta. Kita jual ke Vietnam hanya dengan harga Rp 100.000 atau Rp 130.000. Nelayan tidak boleh bodoh dan kita akan dirugikan bila itu dibiarkan," imbuhnya.
• Soal Ekspor Benih Lobster, Fadli Zon Minta Edhy Prabowo Pertimbangkan Masukan dari Susi Pudjiastuti
• Reaksi Susi Pudjiastuti Soal Temuan PPATK Penyelundupan Lobster Rp 900 M: Lebih Gede dari Harley!
Terbaru, Susi Pudjiastuti menanggapi sebuah artikel berita yang menyebutkan, Edhy Prabowo menyamakan ekspor benih lobster dengan nikel.
Tanggapan itu juga disampaikan Susi Pudjiastuti melalui akun Twitter resminya, Selasa (17/12/2019) hari ini.
Susi menuliskan rentetan tanggapan dalam sebuah utas.
Dalam utas tersebut, Susi Pudjiastuti membandingkan perbedaan paling mendasar dari nikel dan lobster yang notabene merupakan sumber daya alam di Indonesia.
Sang mantan menteri KKP menyebutkan, nikel adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui.
Sementara, lobster adalah sumber daya alam yang bisa diperbaharui dan akan terus ada dan banyak selama dijaga kelestariannya.
Susi juga mengingatkan, lobster merupakan satu dari sedikit sumber daya laut yang bisa ditangkap dengan mudah oleh pancing atau bubu yang dimiliki para nelayan kecil.
Sehingga, Susi menyebut pengambilan lobster dengan kapal besar atau alat modern tidak diperlukan, demi menjaga sumber penghidupan para nelayan kecil di pesisir.
Susi juga menolak pengelolaan ekstraktif, instan, dan masif pada sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Dalam utas tersebut, Susi Pudjiastuti pun menunjukkan betapa jumlah lobster yang dapat diambil langsung dari alam kini semakin menurun.
Mislanya, di Pangandaran.
Sebelum tahun 2000an, saat musimnya, penangkapan lobster berukuran lebih dari 100 gram di Pangandaran dan sekitarnya dapat mencapai tiga hingga lima ton per hari.
Sementara untuk saat ini, hasil tangkapan lobster pada musimnya hanya mencapai kurang dari 100 kilogram per hari.
Hal yang sama juga terjadi di beberapa wilayah lain di Indonesia yang disebutkan oleh Susi.
Seperti, Pelabuhan Ratu, Yogyakarta bagian selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan, Sumatera bagian barat, dan lainnya.
Menurut Susi, 15 tahun yang lalu para nelayan yang menangkap lobster dengan alat pancing bisa mendapat minimal 300 hingga 500 kilogram, bahkan bisa mencapai satuan ton.
Ini artinya, saat itu setiap nelayan yang memancing, bisa mendapat dua hingga lima kilogram lobster per hari.
Namun, kini nelayan hanya bisa mendapat satu atau dua ekor lobster.
Ini menjadi indikasi bahwa jumlah lobster di alam liar telah berkurang banyak.
• Gibran Jajan Es Teh Pakai Plastik, Susi Pudjiastuti Minta Sumbang Gelas dan Sedotan Stainless
• Beda Sikap dengan Susi Pudjiastuti, Edhy Prabowo Pilih Sulap Kapal Pencuri Ikan Jadi Rumah Sakit
• Edhy Prabowo Sebut Ada Kejanggalan dalam KKP Era Susi Pudjiastuti Selama 5 Tahun Belakangan
• Beda dengan Susi Pudjiastuti, Edhy Prabowo Akan Hibahkan Kapal Ilegal yang Ditangkap untuk Nelayan
Kemudian, Susi Pudjiastuti mencontohkan beberapa negara yang memiliki kebijakan tidak mengambil bibit atau benih lobster.
Yakni, Australia, India, dan Kuba, ketiga negara ini kaya akan lobster jenis Panulirus homarus.
Negara-negara tersebut hanya mengambil lobster dengan kriteria ukuran yang telah ditentukan.
Untuk Australia, lobster yang boleh diambil hanya seberat minimal 1 pon dengan ukuran maksimal yang juga telah diatur.
Menurut Susi, lobster besar bisa menjadi indukan yang produktif.
Negara-negara ini tidak membudidayakan bibit, juga tidak mengekspor bibit.
Tak ketinggalan, Susi pun menyematkan sentilan, "Apakah karena mereka (negara-negara yang disebut di atas, red.) lebih bodoh dari kita?"
Simak utas tanggapan Susi Pudjiastuti mengenai artikel berita yang membahas soal Edhy Prabowo menyamakan kebijakan ekspor benih lobster dengan nikel berikut ini.
(TribunPalu.com/Rizki A.)