Virus Corona

WHO Sebut Virus Corona Lebih Berbahaya Dibanding Serangan Terorisme

Dirjen WHO, Tedros Ghebreyesus menyatakan bahwa wabah virus corona merupakan 'worst enemy you can ever imagine'

Editor: Imam Saputro
Instagram.com/who/
novel Coronavirus (2019-nCoV) 

TRIBUNPALU.COM - Wabah virus corona yang merebak sejak awal tahun 2020 silam telah memakan banyak korban jiwa.

Tepatnya pada 31 Desember 2019 lalu, kasus virus corona disebut pertama kali ditemukan di Wuhan, China.

Hingga menjelang pertengahan Februari 2020 ini, tercatat sudah ada lebih dari 60 ribu kasus virus corona yang terjadi di berbagai negara.

Virus corona juga telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Berdasar laporan South China Morning Post, per Kamis (13/2/2020) ini ada 1.363 orang yang dinyatakan meninggal akibat terjangkit virus corona.

Sebagian besar kasus kematian ini terjadi di wilayah China.

Viral Warga China Lindungi Binatang Peliharaan dari Virus Corona, Pakai Masker hingga Kantong Kresek

Cegah Penyebaran Virus Corona, Sejumlah Restoran di Hong Kong Buat Batas Pemisah Antarpengunjung

Terkait dengan masalah kasus virus mematikan ini, Tedros Ghebreyesus, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan resminya.

Tedros Ghebreyesus menyatakan bahwa wabah virus corona merupakan 'worst enemy you can ever imagine' atau 'musuk terburuk yang bisa Anda bayangan.'

Dirjen WHO tersebut juga berujar jika virus corona ini lebih berbahaya jika dibandingkan dengan serangan terorisme.

"To be honest, a virus is more powerful in creating political, social and economic upheaval than any terrorist attack. It's the worst enemy you can imagine.

(Sejujurnya, sebuah virus lebih berbahaya dalam menciptakan pergolakan politik, sosial, dan ekonomi dibandingkan dengan berbagai serangan teroris. Ini merupakan musuh terburuk yang bisa Anda bayangkan)," ujar Tedros Ghebreyesus yang dikutip dari laman Daily Mail.

Turis Asal China Dikabarkan Terinfeksi Virus Corona seusai Berlibur di Bali, Ini Kata Kemenkes RI

15 Orang Meninggal Akibat Wabah Penyakit Misterius di Nigeria, Bukan Virus Corona atau Ebola

China berharap wabah virus corona dapat teratasi pada bulan April mendatang

China berharap agar wabah virus mematikan yang telah menyerang puluhan ribu warganya ini bisa segera teratasi.

Mereka mentargetkan agar virus ini bisa teratasi pada bulan April mendatang.

Sayangnya, WHO menyatakan adanya kemungkinan wabah ini akan merebak selama lebih dari satu tahun.

Tidak hanya itu, pesimisme untuk segera mengatasi kasus virus corona ini juga disebabkan karena vaksin yang belum tersedia.

Tedros Ghebreyesus menyebut bahwa vaksin virus corona baru akan tersedia dalam waktu 18 bulan lamanya.

WHO tetapkan nama baru untuk virus corona

WHO telah menetapkan nama baru untuk virus yang menyerang saluran pernafasan ini.

Dikutip dari laman TIME, WHO menetapkan nama resmi untuk virus corona baru ini, yakni COVID-19.

Nama baru COVID-19 merupakan singkatan dari Corona Virus Disease 19.

Pemberian nama ini memiliki tujuan khusus, yakni untuk tidak mengacu ada Wuhan, kota di China yang menjadi awal munculnya virus corona baru tersebut.

"Pemberian nama sangat penting untuk mencegah penggunaan nama lain yang tidak akurat atau penuh stigma," kata Tedros Ghebreyesus.

"Pemberian nama juga menjadi format standar agar digunakan untuk wabah virus corona lain yang merebak di masa yang akan datang," lanjutnya.

WHO mengacu pada panduan yang dibuat tahun 2015 lalu yang memastikan nama [virus] tidak merujuk pada lokasi geografis, binatang, individu atau sekelompok orang, tetapi juga sekaligus masih bisa diucapkan dan terkait dengan penyakitnya.

Para pakar kesehatan publik telah sepakat untuk tidak memberi nama virus corona baru ini berdasarkan nama wilayah geografis di China.

Jika pemberian nama virus corona ini masih 'berbau' nama kota Wuhan, dikhawatirkan nama tersebut akan menimbulkan cap atau stigma terhadap penduduk Wuhan yang juga menjadi korban penyakit tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh pakar kesehatan publik sekaligus profesor hukum di Northeastern University, Wendy Parmet, kepada TIME.

"Orang-orang cenderung berpikir bahwa suatu penyakit menjadi semacam 'kepemilikan', sama halnya dengan mengidentifikasi karakteristik dari beberapa orang yang tinggal di tempat tertentu, hal ini tentu memicu stigma," kata Wendy.

"Dianggap sebagai pusat suatu penyakit tentu membuat orang atau tempat itu menjadi tidak produktif. Hal ini malah membuat kota lain [tempat suatu wabah atau penyakit muncul] enggan berterus terang atau melaporkan adanya penyakit, jika kota itu diberi cap/label sebagai nama penyakit," pungkasnya.

Diketahui, menyusul merebaknya wabah virus corona, ada sejumlah laporan mengenai insiden atau sikap xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing), terhadap orang-orang keturunan Asia.

(TribunPalu.com/Clarissa Fauzany/Rizki A.)

Sumber: Tribun Palu
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved