Indonesia Dicoret dari Daftar Negara Berkembang: Kejengahan Presiden AS hingga Tanggapan Pemerintah
Nama Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau USTR.
TRIBUNPALU.COM - Nama Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of The Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Indonesia tidak sendiri, setidaknya total ada 25 negara yang dicoret dari daftar negara maju.
Yakni, Brazil, India, Argentina, Bulgaria, Armenia, Hong Kong, India, Malaysia, Montenegro, Albania, Kazakhstan, dan Afrika Selatan.
Lalu ada Kolombia, Moldova, Republik Kirgis, Georgia, Kosta Rika, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, Vietnam, Singapura, Romania, Indonesia, dan Makedonia Utara.
Dengan adanya keputusan ini, Indonesia pun 'naik level' dengan menjadi negara maju.
Oleh karena tak lagi menyandang status negara berkembang, Indonesia tidak akan mendapat perlakuan istimewa terkait bea masuk dan bantuan lain dalam aktivitas ekspor-impor.
Padahal, menurut WTO, keistimewaan bea masuk yang lebih rendah ketimbang komoditas negara maju bertujuan untuk membantu mengentaskan negara-negara berkembang tersebut dari kemiskinan.
Keputusan pencoretan sejumlah negara dari daftar negara berkembang ini berlaku sejak 10 Februari 2020.
Berikut TribunPalu.com merangkum beberapa hal mengenai dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang dari laman Kompas.com dan Kontan.co.id.
• Sebut Monas Cagar Budaya hingga Kenang Soekarno, Cara Megawati Kritik Anies Baswedan Soal Formula E
• Puan Maharani Tak Heran Prabowo Raih Elektabilitas Tinggi di Pilpres 2024: Sudah Berkali-kali Ikut
• Alat Kesehatan di RSCM Terendam Banjir, Menkes Terawan Agus Putranto: Mudah-mudahan Dapat Beroperasi
Tujuan pencoretan negara berkembang
Menurut USTR, keputusan untuk merevisi metodologi terkait negara berkembang untuk investigasi tarif perdagangan penting untuk dilakukan, sebagaimana diwartakan laman Kompas.com.
Sebab, pedoman yang digunakan sebelumnya sudah usang lantaran dibuat tahun 1988.
Pembaruan ini pun menandai langkah penting kebijakan AS yang sudah berlangsung selama dua dekade terkait negara-negara berkembang.
Akhirnya, negara-negara yang dicoret dari daftar negara berkembang ini bisa dikenai tarif yang lebih tinggi atas barang yang dikirim ke AS.
Pencoretan Negara Berkembang: Bentuk Kejengahan Presiden AS Donald Trump
Amerika Serikat di bawah Pemerintahan Presiden Donald Trump melakukan langkah pencoretan ini untuk mengurangi jumlah negara yang selama ini dianggap mendapat perlakuan istimewa.
Pencoretan beberapa negara dari daftar negara berkembang juga disinyalir menjadi langkah yang mencerminkan kejengahan Donald Trump.
Menurut Donald Trump, negara-negara ekonomi besar, seperti China dan India, diperbolehkan menerima preferensi khusus karena masuk kriteria negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam kunjungannya ke Davos, Swiss, pada bulan lalu, Donald Trump menyebut WTO memperlakukan AS secara tidak adil.
"China dipandang sebagai negara berkembang. India dipandang sebagai negara berkembang. Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang. Sepanjang yang saya ketahui, kami juga negara berkembang," cetus Donald Trump.
• Ada 36 Kasus yang Dihentikan, Firli Bahuri: Terlampau Banyak Perkara yang Ditinggalkan
• Selamatkan 30 Siswa SMPN 1 Turi Korban Susur Sungai, Sudiro dan Darwanto Diapresiasi Wabup Sleman
• Kisah Suraji, Kehilangan Putri Semata Wayangnya yang Jadi Siswa SMPN 1 Turi Korban Susur Sungai
Komentar Pemerintah RI
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto angkat bicara terkait dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang.
Airlangga mengatakan, hal ini akan berdampak terhadap fasilitas-fasilitas negara berkembang.
"Dampaknya tentu fasilitas, Indonesia yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi, ya kita tidak khawatir itu," kata Airlangga sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id.
Setali tiga uang, ekspor barang-barang Indonesia akan mengalami kenaikan tarif yang tinggi daripada negara berkembang lainnya.
Misalnya, pajak-pajak impor yang diatur AS atas barang Indonesia akan lebih tinggi, termasuk bea masuk.
"Tapi belum tentu, kami tidak khawatir," terangnya.
• Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty Viral Internasional, Media Inggris Ikut Sorot Renang Bikin Hamil
• Wilayah Indonesia Ini Disebut Telah Terpapar Virus Corona, Menkes Australia: Kita Perlu Memonitor
Dampaknya terhadap Indonesia
Selama ini, Indonesia mendapatkan surplus perdagangan dari Amerika Serikat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dollar AS.
Angka ini membesar apabila dibanding surplus periode sama tahun lalu, yakni 804 juta dollar AS.
Data tersebut juga menyebutkan, AS menjadi negara terbesar kedua pangsa ekspor non-migas Indonesia sebesar 1,62 miliar dollar AS pada Januari 2020.
Namun, dengan dicoret dari daftar negara berkembang, perdagangan Indonesia terancam merugi.
Diwartakan di Kompas.com, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries sehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Sebagai akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.
Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
(TribunPalu.com, Kompas.com, Kontan.co.id)