Mengenal ''Quarantine Shaming'', Aksi Mempermalukan Orang di Tengah Pandemi Virus Corona Covid-19
Upaya mempermalukan orang lain seperti itu bisa memainkan peran penting untuk mendorong pembentukan norma-norma sosial, terutama disaat wabah Covid-19
TRIBUNPALU.COM - Merebaknya wabah virus corona baru Covid-19, ikut berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang, norma sosial, dan budaya.
Sampai-sampai timbul istilah "quarantine shaming."
Quarantine shaming merujuk pada istilah yang dilontarkan kepada orang yang tetap beraktivitas keluar rumah selama kebijakan pembatasan sosial atau nekat memakai sarung tangan lateks untuk berbelanja.
Orang-orang itu mendapat kritikan sebagai orang yang egois, arogan, atau membahayakan diri dan lingkungan.
Kritikan terhadap orang yang tidak patuh pada aturan untuk tetap tinggal di rumah juga beredar di media sosial.
Bahkan, belakangan ini ada tagar #COVIDIOTS yang ditujukan pada mereka yang masih membuat acara kumpul-kumpul.
Dalam beberapa hari terakhir juga viral video dua orang memakai hazmat suit (alat pelindung diri) yang biasa dipakai tenaga medis, sedang berbelanja ke supermarket.
Kedua orang itu mungkin memakai pakaian tersebut untuk melindungi diri dari virus.
• Donald Trump Sebut Pangeran Harry dan Meghan Markle Harus Bayar Biaya Keamanan Sendiri Selama di LA
• Banyak Penyemprotan Disinfektan Salah Kaprah, Gugus Tugas Covid-19: Seharusnya untuk Benda Mati
• Pemakaian Hand Sanitizer untuk Cegah Covid-19, Tim Pakar Gugus Tugas: Gunakan dengan Bijak dan Aman
Tak ayal, cercaan pun ditujukan kepada kedua orang yang dianggap egois, mengingat saat ini para tenaga medis di seluruh daerah sedang mengeluhkan kekurangan APD.
Psikolog sosial mengatakan, upaya mempermalukan orang lain seperti itu bisa memainkan peran penting untuk mendorong pembentukan norma-norma sosial, terutama ketika norma dengan cepat berubah akibat wabah virus corona Covid-19.
Kendati begitu, menjaga jarak sosial juga dianggap sulit, terutama ketika ada saran yang membingungkan tentang aturan kapan dan bagaimana orang boleh ke luar rumah.
Saran dari otoritas juga seringkali membingungkan.
Di satu sisi kita diminta untuk tetap tinggal di rumah.
Tapi di sisi lain, kantor tidak meliburkan karyawannya.
Kita diminta untuk menjaga jarak sosial, tetapi berdesak-desakan di kendaraan umum.