Pesan SBY untuk Presiden Prancis Macron: Semoga Anda Bisa Menjadi Pemimpin yang Lebih Bijaksana

SBY memberikan pesan untuk Presiden Prancis Emmanule Macron terkait karikatur Nabi Muhammad

Editor: Imam Saputro
Istimewa via Tribunnews.com
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 

Namun, di tengah kelegaan hati saya itu... tetap ada yang mengusik dan mengganggu pikiran saya. Apa yang saya maksud?

Setelah sama-sama mengecam terjadinya aksi kekerasan dan terorisme itu, dunia kembali terbelah.

Di satu sisi, para pemimpin negara-negara Barat segera membangun solidaritas dan dukungan terhadap Perancis. Tema besarnya adalah kebebasan itu dijamin oleh negara. Kebebasan harus diterima oleh siapa pun dan tak boleh diganggu. Kebebasan, atau freedom itu di atas segalanya.

Sementara itu, di sisi lain, para pemimpin dan tokoh di dunia Islam kembali mengecam penghinaan terhadap Islam, atau blasphemy, defamation, melalui pembuatan karikatur Nabi Muhammad tersebut. Kemarahan umat Islam makin besar ketika Presiden Macron mengeluarkan pernyataan yang dinilai mendiskreditkan agama Islam (insulting). Protes-protes sosial segera berlangsung di sejumlah negara. Barang-barang produksi Perancis pun ikut diboikot. Sebagaimana yang diteriakkan di Perancis pada awal tahun 2015 dulu... “We are at war”, kali ini, di Timur Tengah, juga dikumandangkan hal yang kurang lebih sama.

Kalau ditelusuri, keyakinan dan pandangan dari kedua belah pihak memang secara fundamental berbeda. Bahkan berlawanan.

Yang satu berpendapat bahwa membuat karikatur Nabi Muhammad itu sebuah ekspresi kebebasan. Hal begitu dibenarkan dan mesti dilindungi. Sedangkan, satunya lagi bersikeras bahwa tindakan itu sangat melecehkan dan menghina Islam. Perbuatan seperti itu tak boleh dibiarkan dan harus dilawan. Harus diberikan penalti. Pandangan yang saling berbenturan inilah yang membuat situasi di banyak belahan dunia kembali bergolak. Kembali memanas.

Saat ini, munculnya clash dan pertikaian seperti itu sesungguhnya tidaklah diharapkan. Ingat, semua bangsa sedang menghadapi pandemi corona dan krisis ekonomi global yang sangat serius. Yang diperlukan bukannya permusuhan dan perpecahan, tetapi justru kemitraan dan kerja sama.

Melihat perkembangan keadaan yang ada, berulangnya tragedi seperti itu sebenarnya dapat dicegah. Karenanya, diam-diam saya berpikir apakah dunia ini memang tidak mampu memetik pelajaran dari masa lalu. Apakah manusia itu benar-benar sulit untuk berubah. Juga sulit untuk berbagi rasa dan bersedia untuk saling mendengar. Bukan hanya sigap berperang kata, bersahut-sahutan.

Mestinya, paling tidak harapan kita, para pemimpin dunia bisa menjadi bagian dari solusi dan bukannya bagian dari masalah. Mencari titik temu adalah solusi, sementara saling salah-menyalahkan itu masalah.

Terhadap ini semua, izinkan saya menyampaikan pandangan saya yang bersifat pribadi. Saya hanya ingin urun rembuk untuk kebaikan bersama, baik untuk masa kini maupun masa depan. Pandangan saya ini sekaligus merupakan pesan kepada Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang saat ini sedang mengemban amanah memimpin bangsa Perancis.

Saya mulai dari isu tentang penggambaran karikatur Nabi Muhammad.

Topik ini saya awali dengan sebuah pertanyaan yang sangat sederhana... apakah membuat karikatur Nabi Muhammad, apalagi yang sifatnya mengolok-olok, itu etis atau tidak etis, benar atau salah, serta boleh atau tidak boleh? Jawaban dari pertanyaan ini sungguh penting, karena inilah yang menjadi sumber dan penyebab utama terus terjadinya benturan antara dunia Barat dan dunia Islam.

Saya tahu, Perancis dan dunia Barat umumnya berpendapat bahwa kebebasan itu mutlak dan tak dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Termasuk barangkali kebebasan untuk membuat karikatur Nabi Muhammad SAW, dengan segala olok-oloknya.

Nah, di sinilah saatnya saya harus berkata langsung (to the point). Hentikanlah membuat karikatur Nabi Muhammad. Sekali lagi, hentikanlah. Tindakan itu sangat melukai, menghina, melecehkan dan bahkan menantang umat Islam di seluruh dunia. Ini sungguh serius. Saya tidak mendramatisasi dan melebih-lebihkan.

Jika meminjam terminologi Barat, saya ini seorang muslim moderat dan bukan radikal. Saya juga berpikiran terbuka dan senantiasa membangun toleransi dengan umat agama mana pun, identitas apa pun. Meskipun, sebagai seorang muslim saya tetap teguh pada akidah ajaran Islam.

Sumber: Tribun Palu
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved