Pro Kontra Seputar RUU Larangan Minuman Beralkohol, Kata KPAI hingga Asosiasi Distributor Minol
Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
TRIBUNPALU.COM - Badan Legislasi (Baleg) DPR kembali membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol.
Pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol terdiri atas 21 anggota DPR.
Mereka yaitu 18 orang dari Fraksi PPP, dua dari Fraksi PKS, dan seorang dari Fraksi Partai Gerindra.
Pembahasannya sempat mandeg pada 2014, kini RUU Larangan Minuman Beralkohol telah dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 sebagai usul inisiatif DPR
Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Berikut TribunPalu.com telah merangkumnya dari berbagai sumber:
1. KPAI: RUU Larangan Minuman Beralkohol Dapat Lindungi Anak-anak dari Miras
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai RUU Larangan Minuman Beralkohol memiliki semangat untuk melindungi anak dari minuman keras.
Diwartakan Tribunnews.com, Susanto mengatakan KPAI akan melakukan kajian mendalam terhadap RUU ini terkait dengan perlindungan anak.
"Secara substantif tentu akan kita telaah secara komprehensif terkait RUU itu. Tetapi sebenarnya, spiritnya memang baik ya, untuk melindungi anak kita agar tidak terpapar dari penyalahgunaan itu. Saya kira positif," ucap Susanto di Hotel Red Top, Pecenongan, Jakarta Pusat, Jumat (13/11/2020).
Terkait dengan pro dan kontra yang muncul soal pembahasan RUU ini, Susanto meminta masyarakat untuk memberikan masukan.
Menurutnya, masukan dari masyarakat sangat dibutuhkan agar dapat mengakomodir kepentingan seluruh pihak di Indonesia.
"Silakan memberikan masukan untuk pemerintah dan DPR. Sehingga perspektif dari RUU itu mengakomodasi kepentingan nasional kita. Tapi yang pasti semangat perlindungannya baik," kata Susanto.
2. Polri: Banyak Kasus Tindak Pidana yang Dipicu Alkohol
Markas Besar Kepolisian RI menyampaikan banyak tindak pidana yang dipicu akibat minuman beralkohol.
Hal tersebut menanggapi adanya pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
"Kalau boleh kami berikan gambaran, dalam beberapa kasus tindak pidana memang ada hal-hal yang dilatarbelakangi karena alkohol," kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Pol Awi Setyono dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (14/11/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun Polri, ada 223 kasus tindak pidana yang dilatarbelakangi karena minuman keras. Mayoritasnya, kasus tindak pidana pemerkosaan.
"Data yang kami himpun dari Biro Opsnal, perkara pidana karena miras selama tiga tahun terakhir mulai tahun 2018 sampai 2020 sebanyak 223 kasus. Kasus ini biasanya misalnya kasus-kasus pemerkosaan, setelah diperiksa positif minum alkohol terkait dengan kejahatan," ungkapnya.
Namun demikian, pihak kepolisian enggan untuk menanggapi materi RUU Minol yang tengah dibahas oleh DPR RI.
"Terkait pembahasan RUU Minol tentunya saya tidak akan menanggapi itu karena itu ranahnya DPR," pungkasnya.
3. MUI dan Muhamadiyah Sepakat
Muhammadiyah dan MUI mendukung pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Sekretaris Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan, UU minuman beralkohol sangat penting dan mendesak.
Ia memandang, konsumsi alkohol merupakan salah satu masalah yang berdampak buruk terhadap kesehatan, kejahatan, moralitas, dan keamanan.
Banyak tindak kejahatan, kecelakaan lalu lintas yang fatal, dan berbagai penyakit bermula dari konsumsi alkohol yang berlebihan, seperti yang diberitakan Tribunnews.com.
Menurutnya, UU minuman beralkohol minimal harus mengatur empat hal:
(a) kadar alkohol maksimal dalam minuman yang diperbolehkan;
(b) batas usia minimal yang boleh mengkonsumsi;
(c) tempat konsumsi yang legal;
(d) tata niaga/distribusi yang terbatas.
"Undang-undang minuman beralkohol bukan merupakan usaha islamisasi. Banyak negara Barat yang mengatur sangat ketat konsumsi dan distribusi minuman beralkohol," kata dia kepada wartawan, Jumat (13/11/2020).
Sementara itu, Sekjen MUI Anwar Abbas secara terpisah juga mengungkapkan hal serupa.
Anwar mengatakan, minuman keras itu tidak baik, menurut agama maupun ilmu kesehatan.
Sehingga sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi rakyatnya.
"Pemerintah juga sudah tahu bahwa minuman keras itu berbahaya bagi yang mengkonsumsinya maka pemerintah dan DPR ya jangan membuat peraturan yang akan membuat rakyatnya akan jatuh sakit dan atau akan terkena penyakit serta melanggar ajaran agamanya," ungkapnya di keterangan tertulis, Jumat (13/11/2020).
Ia berharap lebih jauh, agar pemerintah dalam membuat UU tentang miras ini jangan tunduk kepada keinginan pedagang dan membiarkan pengusaha mencari untung dengan merugikan dan merusak fisik serta jiwa dan agama orang lain yang mengonsumsinya, seperti halnya juga dengan narkoba.
"Untuk itu menghimbau Pemerintah dan para anggota DPR untuk berbuat baik dan yang terbaik bagi rakyatnya bukan sebaliknya karena dikutak kutik bagaimanapun yang namanya miras itu kesimpulannya adalah bahwa mafsadatnya jauh lebih besar dari maslahatnya. Baik ditinjau dari segi agama maupun dari segi ilmu terutama ilmu kesehatan," terang dia.
4. Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi NasDem: Jika Terlalu Ketat, Bisa Picu Pengoplosan.
Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi NasDem Ahmad Sahroni menyebut Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol pada saat ini belum diperlukan, karena dapat memunculkan pengoplosan minuman beralkohol.
"Belajar dari pengalaman di berbagai negara, kalau minuman beralkohol terlalu ketat peraturannya dan akhirnya sangat sulit terjangkau, justru berpotensi menimbulkan munculnya pihak yang nakal melakukan pengoplosan alkohol ilegal atau bahkan meracik sendiri. Jadi harus betul-betul dipertimbangkan lagi,” ujar Sahroni, sebagaimana diberitakan Tribunnews.com, Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Menurut Sahroni, pada saat ini yang terpenting yaitu penegakkan aturan minuman beralkohol yang sudah ada selama ini di masyarakat.
“Mau aturannya seperti apa, yang penting penegakannya di lapangan. Sekarang kita lihat, aturan soal larangan konsumsi alkohol di bawah 21 tahun saja belum benar-bener ditegakkan. Begitu juga larangan nyetir kalau mabuk,” paparnya.
Oleh sebab itu, Sahroni menyebut, jangan sampai pengetatan aturan terkait konsumsi alkohol justru mendatangkan masalah lain, seperti menjamurnya minuman keras yang ilegal.
“Jangan sampai aturannya diperketat malah jadi makin banyak yang bandel, misalnya, malah ngoplos alkohol sendiri yang bisa berdampak kematian. Ini malah lebih bahaya,” ujar Sahroni.
5. ADMA: Berpotensi Munculkan Pasar Gelap
Ketua Asosiasi Distributor Minuman Beralkohol (ADMA) Golongan A Bali, Frendy Karmana menyebut, larangan minuman alkohol (minol) dapat memberi dampak buruk bagi daerah wisata seperti Bali.
Menurutnya, aturan ini berpotensi melahirkan transaksi jual beli ilegal atau pasar gelap minuman alkohol.
Sehingga, minuman alkohol ini akan tetap ada namun akan sulit dikontrol peredarannya akibat dilarang.
"Dilarang tapi enggak mungkin bisa hilang yang ada black market, nanti ada pungli pasti itu. Jadi, akhirnya maksudnya barangnya tetap ada tapi malah enggak terkontrol," kata Frendy, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).
Ia menyebut, dalam Pasal 8 Angka 2 RUU Minol ini memang membolehkan minuman beralkohol untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan di tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Namun, pengawasan di lapangan yang akan menyulitkannya.
"Meskipun di pasal 8 ada untuk wisatawan. Ini akan abu-abu, yang boleh jual siapa. Yakin hanya dijual ke wisatawan saja? bukan orang lokal saja. Ini nanti malah timbul pungli," kata dia.
Menurutnya terkait minuman beralkohol yang sebaiknya ditegaskam adalah pengawasan dalam penjulannya.
Artinya yang diperbolehkan membeli adalah warga dengan usia 21 tahun ke atas.
Penjual harus menanyakan KTP sebelum transaksi dilakukan.
"Nanti kalau ada yang melanggar itu apa hukumannya. Itu yang harus ditegaskan," kata dia.
Ia mengatakan, RUU ini juga akan memukul usaha minol di Pulau Dewata, terutama golongan A.
Ia mengatakan, hampir 70 persen pedagang minol golongan A yakni bir di Bali adalah pengecer.
Untuk konsumsi minol golongan A di Bali mencapai 100.000 krat dalam satu bulan.
Dari jumlah itu, hampir 70 persen dikonsumsi wisatawan domestik dan asing.
Sisanya, untuk kebutuhan lokal seperti saat acara-acara di desa atau upacara keagamaan.
Ia berharap pemerintah menekankan edukasi dengan menegaskan batasan umur konsumsi daripada melarang.
6. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS): Kurang Tepat di Negara Plural
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada penegakan hukum dari peraturan yang sudah ada.
Selain penegakan hukum, pemerintah juga seharusnya mampu merumuskan peraturan yang mampu mengakomodir perkembangan dari kehidupan masyarakat.
Menurutnya, peraturan yang ada belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol yang dijual secara daring.
Pingkan menyebut pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ini jika memang tujuan dari pembuatan RUU Larangan Minuman Beralkohol untuk melengkapi apa yang sudah ada.
"CIPS menilai bahwa klaim-klaim yang ada di dalam RUU tersebut tidak tepat sasaran dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Baik naskah akademik maupun materi presentasi pembahasan Baleg terkait RUU Minol ini terlampau mengeneralisir permasalahan dan tidak didukung oleh data empiris yang memadai," katanya dalam keterangan sebagaimana diberitakan Tribunnews.com Kamis (12/11/2020).
"Inisiatif untuk membuat peraturan perlu memperhatikan perkembangan dari objek yang diatur di dalamnya. Sekarang minuman beralkohol tidak hanya dipasarkan secara langsung tetapi juga lewat daring. Transaksi e-commerce tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi secara langsung," sambungnya.
Dia menilai pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar.
Baleg DPR dan Naskah Akademik per tahun 2014 mengklaim landasan perumusan RUU Minol ini setidaknya terdapat empat aspek yang dijadikan justifikasi mengapa RUU ini perlu segera disahkan.
Keempat aspek tersebut ialah perspektif filosofis, sosial, yuridis formal, dan upaya pengembangan hukum.
Fraksi pengusul menekankan bahwa larangan minuman beralkohol hakekatnya amanah konstitusi dan agama.
Poin ini menjadi menarik karena minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku.
Tidak ada larangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 hingga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 telah memberikan payung hukum untuk pembatasan dan pengawasan dari minuman beralkohol di Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 pun juga sudah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan.
"Rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia," ujar Pingkan.
Terkait dengan aspek sosial klaim yang disampaikan oleh fraksi pengusul juga tampak mengabaikan situasi empiris.
Pada kenyataannya, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi oleh minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal.
SUMBER: TRIBUNNEWS.COM, KOMPAS.COM
(TribunPalu.com)