Putra Presiden Soeharto Kini Jadi Sorotan, Utang 2,6 T Ditagih Negara, Mahfud MD: Itu Uang Rakyat

Diketahui utang yang harus dilunasi Tommy Soeharto kepada negara sebesar Rp 2,6 triliun.

ggintersport.com
Tommy Soeharto 

TRIBUNPALU.COM - Putra bungsu Presiden Soeharto, Tommy Soeharto kini tengah menjadi sorotan.

Utangnya kepada negara dengan nilai fantastis kini ditagih.

Diketahui utang yang harus dilunasi Tommy Soeharto kepada negara sebesar Rp 2,6 triliun.

Tommy Soeharto bahkan telah dipanggil ke Gedung Kementrian Keuangan untuk melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, putra Presiden kedua RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto mempunyai utang dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 2,6 triliun.

"Berdasarkan hitungan terkini dan nanti bisa berubah ketika Tommy Soeharto datang (memenuhi pemanggilan) itu Rp 2,6 triliun," ujar Mahfud, dalam keterangan video Kemenko Polhukam, Rabu (25/8/2021).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD (Handover/ Tribun Manado)

Karena utang ini, Satuan Tugas (Satgas) BLBI segera memanggil Tommy untuk melakukan penagihan agar bisa dikembalikan kepada negara.

Mahfud menegaskan, dalam upaya penagihan tersebut, Satgas tak hanya memanggil Tommy seorang, namun juga seluruh obligor dan debitur yang terlibat dalam kasus BLBI.

"Ini ada 48 obligor dan debitur yang jumlah utangnya Rp 111 triliun," kata Mahfud.

Mahfud juga mengungkapkan, para obligor dan debitur BLBI saat ini terdeteksi berada di sejumlah wilayah, di antaranya Bali, Medan, bahkan Singapura.

Nantinya, mereka semua akan dipanggil Satgas BLBI dan harus membayar utangnya kepada negara.

"Semua harus membayar pada negara karena ini uang rakyat, rakyat ini sekarang sedang susah," katanya.

Mahfud juga menegaskan bahwa apabila para obligor tak memenuhi pemanggilan, tidak menutup kemungkinan kasus ini akan berbelok, dari kasus perdata ke arah pidana.

"Oleh sebab itu, mohon kooperatif. Kita akan tegas soal ini karena kita diberi waktu oleh negara, oleh Presiden, tidak lama," imbuh dia.

Sebelumnya, Satgas BLBI mengumumkan pemanggilan Tommy sebagai pengurus PT Timor Putra Nasional.

Bersama Tommy, Ronny Hendrarto Ronowicaksono juga turut dipanggil atas nama pengurus.

Satgas BLBI meminta Tommy dan Ronny untuk ke Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yakni Gedung Syafruddin Prawiranegara lantai 4 Utara, Jl Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta Pusat, pada Kamis (26/8/2021) pukul 15.00 WIB.

Secara keseluruhan, besaran utang yang ditagih kepada para obligor dan debitur BLBI adalah senilai Rp 110,45 triliun.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, sampai hari ini pemerintah masih harus membayar biaya dari efek BLBI tahun 1998 tersebut sehingga pengejaran obligor dan debitur dilakukan.

Dia mengaku tak ingin lagi melihat niat baik para debitur dan obligor dalam mengembalikan dana. Dia hanya ingin dana itu segera dibayar karena kasus sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.

"Oleh karena itu, karena waktunya sudah sangat panjang lebih dari 20 tahun, tentu kita tidak lagi mempertanyakan niat baik atau tidak, tapi mau bayar atau tidak," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Jejak Kasus Tommy Soeharto di BLBI

BLBI merupakan dana darurat yang disuntik pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998.

Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah ketika penutupan 16 bank pada tahun 1997 memicu serbuan para deposan Indonesia yang takut kehilangan tabungan mereka jika bank yang mereka gunakan ditutup.

Karena ancaman semua bank rentan akan kolaps apabila semua deposan tiba-tiba memutuskan untuk menarik simpanannya, akhirnya pemerintah memberikan bantuan likuaditas.

Situasi ini diperparah akibat devaluasi rupiah, meninggalkan bank-bank tersebut tanpa arus kas yang memadai untuk membayar para deposan.

Biaya awal BLBI mencapai Rp 144,5 triliun.

Salah satu diantaranya adalah bank milik anak mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal sebagai Tommy Soeharto.

Bank Pesona Utama milik Tommy memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun.

Secara rinci Kesepuluh bank yang disebutkan Hicks adalah sebagai berikut:

- BDNI milik Sjamsul Nursalim memperoleh Rp 37,04 triliun

- Bank BCA milik Liem Sioe Liong memperoleh 26,59 triliun

- Bank Danamon milik Usman Admadjaja memperoleh 23,05 triliun

- Bank Umum Nasional milik Bob Hasan dan Kaharudin Ongko memperoleh 12,06 triliun

- Bank Indonesia Raya perusahaan publik (Bambang Winarso) memperoleh Rp 4,02 triliun

- Bank Nusa Nasional milik Aburizal Bakrie memperoleh Rp 3,02 triliun

- Bank Tiara Asia perusahaan publik (HR Pandji M. Noe) memperoleh Rp 2,97 triliun

- Bank Modern milik Samadikun Hartono memperoleh Rp 2,55 triliun

- Bank Pesona Utama milik Hutomo Mandala Putra memperoleh 2,33 triliun

- Bank Asia Pacific memperoleh 2,05 triliun

Kesepuluh Bank tersebut memperoleh dana BLBI senilai total Rp 115,71 triliun.

Meskipun tujuan utama BLBI adalah untuk memastikan para deposan dapat memperoleh kembali tabungannya, Hick mengungkapkan bahwa dana tersebut banyak disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menggunakannya untuk menuangkan ke dalam kerajaan bisnis mereka yang runtuh.

Mengutip dari berbagai sumber, Bank milik Tommy tersebut awalnya bernama Bank Pesona Kriyadana yang lahir dari merger tiga bank yang berasal dari tiga kota yang berbeda yakni Bank Kota Asri (Surabaya), Bank Parahyangan Ekonomi (Bandung) dan Berdjabat Banking Corp (Jakarta) pada 20 Mei 1974.

Nama bank hasil merger itu dinamakan Overseas Express Bank, atau disingkat OEB. OEB kemudian melakukan merger beberapa kali lagi dengan bank lain.

Tercatat, pada era 1980-an, bank ini terus tumbuh, setelah sahamnya diambil alih (50%) oleh Bank Indonesia pada April 1980 dan sisanya dimiliki oleh investor lain.

Pada tahun 1991, OEB pun diakuisisi dan berpindah tangan ke grup Humpuss (Tommy Soeharto) dan Arseto (Sigit Harjojudanto) sebanyak 70% (dengan harga diperkirakan Rp 170 miliar).

Mereka kemudian menyuntikkan dana sebesar Rp 400 miliar ke bank tersebut, dengan sisa 30%-nya diakuisisi oleh Mamiek Soeharto.

Pasca akuisisi oleh anak-anak Presiden Soeharto, bank tersebut kemudian berganti nama baru menjadi Bank Utama pada tanggal 18 Agustus 1992.

Pada akhirnya, setelah segala upaya dilakukan termasuk memberikan tambahan BLBI hingga mencapai Rp 2.334.896.340.396, Bank Pesona kemudian diputuskan untuk dibekukan menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 13 Maret 1999, dan berakhirnya riwayat bank yang tiga kali berganti nama itu kemudian ditegaskan dengan likuidasi bank pada 27 April 2004. (*)

(Sumber: TribunManado.co.id)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved