UIN Datokarama Palu
Cerita Mahasiswa UIN Datokarama saat Kunjungi Suku Pendau di Pedalaman Donggala
Eksplorasi kebudayaan ini pertama kali digelar sejak Trisda didirikan 12 Oktober 1997.
Laporan Wartawan TribunPalu.com, Fandy Ahmat
TRIBUNPALU.COM, PALU - Mahasiswa UIN Datokarama Palu Muhammad Ali menceritakan pengalamannya saat melakukan eksplorasi kebudayaan di Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Kegiatan itu sebagai bagian program kerja dari Sanggar Seni Teater Islam Datokarama (Trisda).
Trisda merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di lingkungan UIN Datokarama Palu Jl Diponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu.
Sebagai ketua, Ali memimpin rombongan menuju Desa Malino, Kecamatan Balaesang, untuk mengeksplorasi kebudayaan Suku Pendau.
"Kegiatan itu dilaksanakan Maret 2021 lalu. Saya bersama beberapa pengurus melakukan eksplorasi di sana selama 12 hari" kata Ali, Selasa (9/11/2021).
Baca juga: Sanggar Seni UIN Datokarama Palu Rugi Ratusan Juta, Alat Musik Rusak Akibat Tsunami 2018
Pria akrab disapa Amat itu menuturkan, eksplorasi kebudayaan ini pertama kali digelar sejak Trisda didirikan 12 Oktober 1997.
Setiba di lokasi, Amat beserta rombongan lebih dulu melakukan persiapan dan sosialisasi kepada masyarakat.
Selama di Desa Malino, mereka tinggal di sebuah rumah yang telah disediakan kepala desa.
Amat mengatakan, sebagian besar masyarakat Kecamatan Balaesang dan sekitarnya memiliki darah Suku Pendau.
Namun terdapat sekelompok warga Suku Pendau yang mendiami pedalaman hutan, sekitar 15 kilometer dari pemukiman warga.
"Kendaraan kami parkir di rumah warga. Sementara untuk menuju lokasi harus berjalan kaki karena akses untuk kendaraan tidak ada sama sekali," tuturnya.
Bersama Kepala Desa Malino dan Tokoh Adat Balaesang, Amat bersama teman-temannya mulai melakukan perjalanan di hari ketiga.
Setelah beberapa saat menelusuri hutan, dari kejauhan Amat melihat terdapat sekitar 20 rumah warga Suku Pendau berbahan dasar kayu.
Kebanyakan rumah itu memiliki ciri khas berupa atap yang terbuat dari anyaman daun enau.
"Perawakan dan pakaian mereka sama seperti masyarakat umumnya. Cuma di sana tidak terlihat adanya kendaraan motor ataupun sepeda," ujar Amat.
Kedatangan mereka disambut langsung tokoh adat Suku Pendau yang mendiami kawasan hutan tersebut.
Amat kemudian mencoba berkomunikasi melalui perantara Tokoh Adat Kecamatan Balesang.
Sebab baik warga Suku Pendau di pedalaman maupun tokoh adatnya tidak bisa berbahasa Indonesia.
"Tokoh Adat Suku Pendau dan Balaesang berbicara menggunakan bahasa yang kami tidak mengerti. Karena bahasanya saja bukan termasuk bahasa Kaili," ungkapnya.
Akan tetapi, di tengah-tengah obrolan itulah Amat bersama teman-temannya mengalami kejadian di luar nalar.
Baca juga: Berani Bayar Rp 60 Juta Per Lembar, Uang Rp 2000 Kurang Nomor Ini Dicari Para Kolektor, Ini Cirinya
Setiap Ketua Adat Balaesang bertanya kepada Tokoh Adat Pendau tentang suku mereka, malah seorang temannya yang selalu menjawab.
"Kami heran, semua pertanyaan tentang Suku Pendau malah teman kami yang jawab. Dia menjawab pakai bahasa Indonesia dan semua jawabannya dibenarkan tokoh adat. Padahal teman saya ini orang Morowali dan tidak tahu apa-apa tentang Suku Pendau" kata Amat.
Amat mengaku awalnya mendapat sambutan baik dari masyarakat Suku Pendau ketika pertama kali tiba.
Namun saat kunjungan berikutnya, para tetua Suku Pendau justru meminta mereka untuk segera balik.
"Orang-orang tua Suku Pendau di wilayah pedalaman meminta kami pulang. Alasannya karena jika kami semakin banyak mengetahui tentang Suku Pendau, justru tidak akan bisa pulang," kata Amat.
Dari hasil eksplorasi, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab itu menyebut Suku Pendau mulai terekspos sejak lima tahun terakhir.
Hal itu ia ketahui dari hasil komunikasinya dengan Ketua Adat dan Sekretaris Camat Balaesang.
"Suku Pendau sebenarnya telah ada sejak masa penjajahan. Hanya saja baru dicantumkan dalam sejarah Sulawesi Tengah sekitar 2016," ucap Amat. (*)