OPINI
Bagai Mata Lalat
Cerita ini menjadi kisa antargenerasi yang turun temurun tentang seorang ayah yang ingin mendidik anaknya. Ayah yang menjadi teladan bagi anaknya.
Sebagai anak yang patuh, ia lalu menuruti Luqman.
Perjalanan pun berlanjut. Sampai mereka melewati sekumpulan orang.
Seperti dugaan Luqman, ada saja orang yang selalu mencari kesalahan orang lain.
“Lihatlah Luqman dan anaknya. Anak yang sungguh berdosa pada Bapaknya. Ia membiarkan bapaknya berjalan, sementara ia menunggangi keledai.”
Sebagai Bapak yang bijak, Luqman hanya tersenyum dan berkata pada anaknya, “lihat dan dengarkanlah wahai anakku. Akan selalu saja ada kekurangan manusia di mata manusia lainnya. Akan selalu ada saja manusia yang melihat dan menilai kekurangan orang lain, tanpa melihat kekurangan dan kelemahannya sendiri.”
Andai cerita ini berlanjut dan andai Luqman dan anaknya menggendong keledai itu sekalipun maka tentu juga akan ada saja cerita “miring” tentang Luqman dan anaknya. Inilah yang disebut “Bagai mata lalat.”
Mata yang selalu tertarik dengan “sampah dan kotoran” padahal banyak bunga yang mekar, banyak tempat yang bersih, banyak pemandangan yang indah tapi ironis, bagi mata seekor lalat, “sampah dan kotoran” adalah hal yang terindah.
Begitu bijak makna dibalik ungkapan bahwa whatever we do, people will always find something to say.
Jadi apapun yang kita lakukan, akan selalu ada saja cerita orang lain. Akan selalu ada kekurangan kita dimata orang lain. Siapa yang sempurna ?
Sebaik baik cermin adalah yang memantulkan apa adanya diri kita. Berkaca pada cermin akan menjadi introspeksi diri bahwa kita belum tentu lebih baik dari yang lain. Sebaliknya, “buruk muka cermin dibelah”.
Pribahasa klasik yang sampai saat ini masih sering digunakan untuk memberi label bagi mereka yang suka menyalahkan orang lain tapi tidak menyadari kesalahannya.
Inilah yang digolongkan oleh Imam Gazali sebagai “Rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri”, Seseorang yang tidak tahu (tidak berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Ironisnya, kategori manusia yang seperti ini seolah olah “maha tahu”, bicara seolah paham aturan padahal sesungguhnya hanya selalu salah paham.
Akhirnya mereka masuk dalam kelompok “NATO”, no action talk only. Ibarat tong kosong yang selalu berbunyi nyaring.
Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara seperti halnya orang yang menebak banyak belum tentu penebak yang baik dan benar. (Baca Artikel “Menjaga Tradisi Diam”)