KKB Papua

47 Tahun Tinggal di Sarang KKB Papua, Dokter Ini Ungkap Kisah Keluar Masuk Hutan Demi Sebuah Misi

Tak hanya setahun atau dua tahun, tetapi dokter itu harus tinggal bersama keluarga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua selama puluhan tahun.

Handover
Seorang dokter hidup puluhan tahun bersama keluarga KKB Papua. 

TRIBUNPALU.COM - Seorang dokter harus menjalani kehidupan di wilayah rawan konflik di Papua.

Tak hanya setahun atau dua tahun, tetapi dokter itu harus tinggal bersama keluarga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua selama puluhan tahun.

Ia kemudian membagikan kisah selama hidup bersama keluarga KKB Papua.

Tak dihabisi oleh KKB Papua seperti tenaga medis lainnya, dokter satu ini punya kisah tersendiri di Bumi Cenderawasih.

Namanya Fransiskus Xaverius Soedanto.

Ia seorang dokter Jebolan UGM (Universitas Gajah Mada) tahun 1975.

Setelah menamatkan kuliah tahun 1975, ia langsung mengikuti program pemerintah, yakni Dokter Inpres.

Seusai mengikuti seleksi tersebut, ia dinyatakan lulus sehingga langsung ditempatkan di Asmat, salah satu wilayah yang menjadi sarang KKB Papua.

Sewaktu tiba di Papua (dulunya Irian Jaya), suasana daerah itu amat jauh dari harapan.

Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, Papua juga demikian terbelakang, tertinggal bahkan terisolir.

Meski demikian, dengan tekad yang membara untuk pelayanan kemanusiaan, dokter Soedanto pun mulai merenda hidup.

Berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lainnya dan keluar masuk hutan, adalah irama perjalanan ketika hendak melayani masyarakat.

Kala itu, kenang dokter Soedanto, kehidupan masyarakat umumnya di bawah standar. Pendidikan sama sekali tak tersentuh.

Sementara faktor lainnya pun ibarat seiring sejalan. Semuanya serba kurang-kurang, termasuk di bidang kesehatan.

Lantaran mengemban predikat sebagai dokter, Soedanto pun tak menghiraukan keterbatasan hidup yang ia hadapi.

Mengonsumsi sagu dan ikan merupakan satu-satunya pilihan agar bisa bertahan hidup.

Dalam keterbatasan itu ia memberikan pelayanan kesehatan dengan biaya seadanya, yakni seribu rupiah.

Karena faktor itulah Soedanto pun akhirnya dikenal sebagai Dokter Seribu Rupiah.

Sebab pelayanan kesehatan yang diberikannya, hanya dengan imbalan Rp 1.000.

Dan, pada tahun 2022 ini, dokter Soedanto genap 47 tahun melayani masyarakat di Papua.

Kala ditemui awak media, Soedanto pun mulai mengenang kembali kisah hidupnya sejak pertama kali tiba di Asmat tahun 1975.

Saat itu ia benar-benar hidup di tengah-tengah masyarakat Asmat. Penduduknya bersahaja namun akhir-akhir ini terus disoroti karena ulah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di daerah itu.

"Begitu SK Gubernur keluar 1975, saya ke Asmat dan jadi dokter di rumah sakit peninggalan Belanda," tutur pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, itu.

Selama sekitar 6 tahun lamanya, Soedanto memulai pelayanan kemanusiaannya di Asmat.

Dengan berjalan kaki keluar masuk hutan dan rawa, Soedanto selalu mengecek kesehatan masyarakat dari satu kampung ke kampung lainnya.

Ketika melewati luasnya hutan Asmat untuk menemui para pasien, Soedanto hanya mengkonsumsi makanan seadanya.

"Saya hanya makan sagu dan ikan, sebab tidak ada sayur, daerahnya juga rawa," ujarnya.

Namun ia senang karena selama di Asmat, ia tidak sendirian. Soedanto senantiasa ditemani beberapa tenaga medis yang adalah penduduk asli Asmat.

Tak perduli apakah penduduk itu adalah keluarga KKB, tapi yang dilakukannya adalah murni demi kemanusiaan.

Ketika ditemui di Jayapura, Jumat 21 Januari 2022, Soedanto pun menceritakan keseharian penduduk asli daerah itu.

Dia mengungkapkan bahwa penduduk Asmat hidup dengan nilai budaya yang kental.

Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya warisan leluhur.

Saat itu, kenang Soedanto, penduduknya masih memakai pakaian yang terbuat dari rerumputan. Kehidupan rumah tangga umumnya di bawah rata-rata.

“Selama melayani, banyak masyarakat tak mampu. Mereka hanya membayar dengan sagu, ataupun kayu bakar dari hutan," katanya.

Dan, setelah mengabdi selama 7 tahun lamanya, Soedanto mudah pun akhirnya pindah ke Kota Jayapura pada tahun 1982.

Saat itu, dokter Soedanto ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa Abepura. Di rumah sakit inilah ia melayani pasien hingga akhirnya pensiun tahun 2013 lalu.

Ketulusannya melayani kesehatan masyarakat dengan tarif Rp 1.000, sepertinya tidak pernah luntur.

Mungkin karena itu, sehingga dimana pun ia berada, masyarakat kecil so pasti mencarinya untuk mendapatkan pelayanan.

Lantaran dekat dengan orang kecil dan sulitnya penduduk memperoleh obat-obatan, ia pun membuka Apotek Rahmat di Jalan Ayapo Nomor 11 Abepura, Kota Jayapura.

Apotek itu dibuka untuk menunjang pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada warga Kota Jayapura.

"Apotek saya ini sudah 40 tahun. Waktu membuka praktek saat itu, rata-rata yang datang masyarakat kelas bawah, seperti pekerja bangunan, dan lain sebagainya," jelasnya.

Kata dia, di tahun itu, harga pemeriksaan diberikan bagi masyarakat cukup murah.

"Sejak 1982 hingga 1985 biayanya Rp 500. Kemudian, saya lupa di tahun berapa itu naik menjadi Rp 2.000. Saya lupa karena sudah lama sekali. Sampai baru-baru ini sudah Rp 5.000,” katanya.

Biaya pengobatan naik lantaran masyarakat saat ini sudah cukup memiliki pendapatan yang baik, dan kebutuhan keluarganya juga semakin meningkat.

"Dulu anak baru satu, kebutuhan juga masih sedikit. Tapi lama-lama anak bertambah, yah kebutuhan hidup tambah naik, seperti ongkos sekolah dan lain sebagainya, makanya baru-baru ini naik Rp 5.000," ujarnya.

Namun, menurut Soedanto, walau harga pemeriksaannya bertambah beberapa ribu, pasien yang datang ke tempat prakteknya terus meningkat.

"Setiap hari itu banyak pasien. Rata-rata 200 pasien saya periksa,” jelasnya.

Mulai pukul 9.00 WIT, sudah banyak pasien antre.

“Jadi saya harus periksa satu per satu sampai kadang saya pulang pukul 15.00 – 16.00 WIT. Tapi itupun masih ada yang datang,” terangnya.

Dengan kondisi tubuh yang kini semakin menua, Soadanto mengaku terkadang dirinya merasa lelah,

"Tapi mau bagaimana, untuk masyarakat, saya harus tetap melaksanakan kewajiban saya sebagai dokter," pungkasnya.

Hingga saat ini, genap sudah 40 tahun Soedanto memberikan pelayanan kesehatan di Negeri Matahari Terbit, Port Numbay.

Dokter Fransiskus Xaverius Soedanto bersama istri tercinta, Elisabeth Tangkere (Tribunnews.com)
Elisabet Kenang Masa Genting di Papua: Untung Ada Tembakau Lempeng

Kalimat bijak ini sering kita dengar tatkala mendengar kisah tentang orang-orang sukses.

“Setiap pria sukses, pasti ada wanita hebat di sampingnya”

Itulah sepenggal kalimat untuk melukiskan kisah 47 tahun Fransiskus Xaverius Soedanto, Dokter Seribu Rupiah melayani di Bumi Cenderawasih.

Bagaimana tidak, Soedanto memiliki Elisabeth Tangkere sebagai pendamping setianya.

Keduanya bertemu di Asmat pada 1976, berselang setahun kala Soedanto menapakkan kaki pertama kalinya pada 1975.

Elisabeth dengan setia menemani Soedanto masuk keluar hutan Asmat dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Soedanto yang tergolong orang baru dan masih buta peta Asmat, merasa aman saat didampingi Elisabeth.

Dari awal perkenalan pada 1976, lalu bekerja sama dalam pelayanan kesehatan, maka tak heran benih-benih cinta tumbuh di antara kedua insan ini.

Tak menunggu lama bagi Soedanto meminang Elisabeth.

Keduanya menikah pada 1979 di Asmat.

Menariknya, setelah menikah, kasih setia Elisabeth mendampingi Soedanto justru makin kuat.

Bahkan, tak pernah sekalipun mengeluhkan pekerjaan kemanusiaan yang dilakukan belahan jiwanya itu.

"Kami menikah pada 1979 di Asmat. Setelah menikah, setiap hari saya dampingi bapa untuk melayani masyarakat sampai ke kampung-kampung," ungkap Elisabeth Tangkere kepada Tribun-Papua.com, Selasa 1 Februari 2022.

Dari satu kampung ke kampung lainnya, Soedanto bersama Elisabeth melayani masyarakat.

Hingga di suatu kampung, mereka bahkan pernah dimarahi warga di Asmat.

"Kami pernah pergi ke satu kampung. Saya sudah lupa nama kampungnya. Waktu itu, pakai perahu kami masuk lewat kali, tapi ada tombak ditancap di situ,” kisahnya.

“Perahu kami tinggalkan begitu saja, dan rumah kepala suku juga kami tidak tahu. Makanya kami sempat dimarah warga di situ. Tapi untungnya kami ada bawa tembakau lempeng. Ya akhirnya kita bagi, dan semuanya aman,” sambungnya.

Setelah melayani di Agats, ibu kota Asmat, sejak 1975, Soedanto bersama belahan hatinya pindah ke Kampung Bayun pada 1981.

Kampung Bayun terletak di Distrik Safan, Asmat, Papua.

Jaraknya cukup jauh dari Agats, dengan estimasi waktu tempuh sekiranya 5 jam menggunakan perahu motor.

“Kami di sana kurang lebih hampir 2 tahun, melayani di rumah sakit Katolik Santa Obilia, Kampung Bayun. Saya memang senang ikut bapa,” terangnya.

Kegemaran, semangat, maupun jiwa melayani Elisabeth nampaknya diwariskan ayahnya yang merupakan seorang Polisi, pelayan dan pengayom masyarakat.

"Saya lahir di Merauke. Bapa saya dulu adalah Polisi di zaman Belanda. Lalu dari Merauke, keluarga pindah ke Asmat, dan saya besar di sana,” jelasnya. (*)

(Sumber: Tribun-Timur.com)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved