Nyali Rusia Ciut karena Ancaman Perang Nuklir, Putin Lebih Pilih Perang Dingin dengan Amerika
Rusia berusaha menghindari terjadinya perang nuklir di tengah invasi ke wilayah Ukraina.
TRIBUNPALU.COM - Rusia berusaha menghindari terjadinya perang nuklir di tengah invasi ke wilayah Ukraina.
Perang nuklir belakangan menjadi perbincangan hangat setelah Rusia mengambil kebijakan invasi ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Invasi yang dilakukan Rusia diyakini bisa memicu perang nuklir yang pada akhirnya akan menciptakan perang dunia ketiga.
Rusia pun menghindari terjadinya hal tersebut dengan cara membujuk sekutu Ukraina, Amerika Serikat untuk menahan diri.
Baca juga: Aksi Anarkis Warga Ukraina Lakukan Penjarahan dan Kekerasan, Rebutan Makanan sampai Rusak Mobil
Seorang pejabat Rusia bernama Alexander Darchiyev meminta Amerika Serikat tak perlu ikut campur dalam perang di Ukraina.
Dalam pernyataannya, Pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia menjadikan perang dingin patokan hubungan ideal antara Moskwa dan Washington DC.
Darchiyev menyerukan Rusia dan Amerika Serikat (AS) kembali ke prinsip koeksistensi damai, seperti perang dingin yang selama ini terjadi.
"Kami terbuka untuk dialog yang jujur dan saling menghormati sejauh Amerika Serikat siap untuk ini," katanya kepada Interfax sebagaimana dilansir Newsweek pada Selasa (8/3/2022).
Rusia diduga menyampaikan hal tersebut lantaran di tengah invasi Ukraina ini, baik Rusia maupun AS sama-sama dalam ancaman nuklir.
"Mungkin ada baiknya mengingat kembali prinsip yang sudah lama terlupakan yang bekerja selama Perang Dingin—koeksistensi damai … dan nilai dan cita-cita yang memisahkan kita...tidak boleh dipaksakan satu sama lain," ujarnya.
Baca juga: Taiwan Bersiap Perang, Curi Strategi dari Konflik Rusia-Ukraina untuk Lawan China
Darchiyev menuturkan bahwa Rusia dan AS harusnya memahami tanggungjawab khusus nasib dunia sebagai negara adidaya nuklir.
Ia pun berharap, ada kenormalan hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat yang belakangan memanas karena invasi terhadap Ukraina.
Darchiyev membela negaranya dengan menyebut bahwa kerusakan hubungan antar negara yang terjadi bukanlah sebuah taktik.
Menurutnya, kondisi ini telah menjadi batu sandungan bagi para diplomat jauh sebelum Vladimir Putin memerintahkan invasi.
Diplomat itu merujuk pada "tindakan permusuhan dan penghinaan arogan" AS atas tuntutan Rusia untuk jaminan keamanan yang mengikat secara hukum.