Puasa Ramadhan

Bagaimana Hukum Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil dan Menyusui? Ini Kata Buya Yahya & Ustaz Adi Hidayat

Berikut ini TribunPalu sampaikan hukum berpuasa bagi ibu hamil menurut Buya Yahya dan Ustaz Adi Hidayat.

Editor: Imam Saputro
theasianparent.com
Manfaat Berpuasa untuk Ibu Hamil bagi Janin dan Ibu 

Penjelasan Buya Yahya & Ustaz Adi Hidayat tentang Hukum Puasa Bagi Ibu Hamill dan Menyusui

TRIBUNPALU.COM - Puasa merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk seluruh umat Muslim di bulan Ramadhan.

Bagi yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan tanpa sebab, dianggap tidak sah dan harus menggantinya di lain waktu.

Beberapa golongan yang diizinkan tidak berpuasa antara lain orang tua (jompo), orang sakit, ibu hamil atau menyusui dan musafir.

Lalu bagaimanakah hukum berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui?

Penjelasan Buya Yahya 

Melalui kanal YouTube Media Dakwah, Buya Yahya menjelaskan tentang hal tersebut.

Buya menjelaskan jika ada wanita hamil dan berat untuk berpuasa, maka diperbolehkan tidak berpuasa.

Namun setelah selesai hamil dan menyusui harus membayarnya di lain bulan.

"Sebetulnya setiap wanita saat hamil kok berat (berpuasa) baik karena bayinya atau dirinya sendiri yang lemas, ini kemurahan dari Allah boleh membatalkan puasa.

Nanti setelah selesai hamil, melahirkan dan menyusui maka wajib mengqadha," ujar Buya saat menjawab pertanyaan jemaah.

Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan saat wanita setelah melahirkan dan menyusui, maka belum ada kewajiban untuk membayarnya.

Baca juga: Ustaz Menjawab: Hukum Vaksinasi pada Bulan Ramadan, Apakah Puasa Tetap Sah atau Batal?

"Kalau masih menyusui belum ada kewajiban untuk mengqadhanya, tapi setelah terbebas dari persusuan itu tadi," sambungnya.

Jika setelah menyusui kemudian hamil kembali, Buya mengatakan tetap wajib membayar puasa semampunya.

Namun hal tersebut harus dipastikan apakah ada uzur seperti sakit atau masih menyusui atau tidak.

Apabila tidak membayar puasa dan masuk ke bulan Ramadhan lagi, maka terhitung dzalim.

"Kalau setelah menyusui hamil lagi dan menyusui lagi, maka di saat setelah menyusui yang terakhir itulah wajib mengqadhanya semampunya.

Kalau tidak mengqadha sampai masuk Ramadhan lagi, maka tergolong dzalim," sambungnya.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ustaz Adi Hidayat (UAH) melalui tayangan di Audio Dakwah.

Penjelasan Ustaz Adi Hidayat

Ustaz Adi mengatakan terdapat dua pendekatan kaidah fikih untuk menentukan hukum berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui.

Yang pertama, pendekatan hakiki yang merupakan penyebab orang tak boleh berpuasa karena memang dirinya tidak diperbolehkan untuk berpuasa.

Pada tayangan tersebut, UAH memberikan contoh seperti orang sakit yang penyakitnya tidak nampak dan membuatnya tidak bisa melaksanakan puasa.

"Misalnya orang sakit yang penyakitnya tidak nampak," ujarnya dalam memberikan contoh.

Baca juga: Hukum Berkumur dan Sikat Gigi saat Berpuasa Ramadhan, Apakah Membatalkan? Ini Kata Buya Yahya

Ia menyebut penyakit kanker, diabetes yang mengharuskan konsumsi obat secara berkala dan sejenisnya.

"Seperti kanker, diabetes yang harus infus atau treatment dalam waktu tertentu," sambungnya.

Kedua, ialah pendekatan maknawi yaitu pendekatan yang disebut UAH sama seperti pendekatan hakiki.

Yaitu memiliki keadaan yang sama dengan orang sakit, namun mempunyai kondisi yang berbeda.

"Sebabnya sama kayak orang sakit, tapi kondisinya berbeda," sambung UAH.

Ia menyontohkan pada kasus tersebut ialah ibu hamil atau menyusui.

Mereka diperbolehkan tidak berpuasa karena dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan bayi ataupun proses produksi asi untuk anaknya.

Ibu hamil membutuhkan masukan kalori dalam tubuh sekitar 2.200 hingg 2.300 kalori.

Sementara itu untuk ibu menyusui membutuhkan kurang lebih 2.200 hingga 26.00 kalori untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

"Paling tidak ibu hamil butuh sekitar 2200-2300 kalori dan 2.200-2.600 untuk ibu menyusui," ujar UAH.

Beberapa ibu mengklaim bahwa dirinya kuat untuk berpuasa dalam keadaan hamil atau menyusui.

Namun UAH menyampaikan, sangat disayangkan jika merasa kuat tetapi harus ada apa-apa dengan bayinya.

Baca juga: Apa Hukum Menunda untuk Buka Puasa Ramadhan 2022? Apakah Pahalanya Menjadi Semakin Banyak?

Ilustrasi ibu hamil
Ilustrasi ibu hamil (TRIBUNNEWS)

Pada contoh lain, ia memaparkan jika ibu hamil atau menyusui kuat untuk berpuasa, namun banyak mengeluh saat menjalankannya.

Oleh karena itu dengan kondisi seperti inilah, UAH menyebut boleh berbuka di sepanjang waktu puasa atau tidak berpuasa sekaligus.

UAH memamaparkan tidak ada perselisihan antar ulama dalam menangani kasus tersebut.

Para ulama sepakat memperbolehkan berbuka bagi mereka yang sedang hamil atau menyusui.

Meskipun tidak berpuasa, mereka wajib membayar puasa di lain waktu dan membayar fidyah.

"Kalau hamil boleh tidak puasa, tapi wajib qadha atau fidyah," ungkap UAH.

Ia menjelaskan lebih detail terkait pembayaran puasa dan fidyah.

Baginya terdapat tiga kekhawatiran ibu hamil atau menyusui saat menjalankan ibadah puasa.

Pertama, khawatir pada dirinya yang ditakutkan tidak kuat berpuasa.

Orang yang mengalami hal tersebut wajib membayar puasanya di hari lain setelah bulan Ramadhan.

Kedua, khawatir terhadap dirinya dan bayinya.

Dalam hal ini mereka mengkhawatirkan keadaan dirinya ataupun bayinya, maka diwajibkan membayar puasa dan fidyah.

"Puasa untuk dirinya, fidyah untuk bayinya," tandas UAH.

Imam Abu Hanifah mengatakan agar mendahulukan mengganti puasa daripada membayar fidyah.

"Jika dirasa mampu, dikatakan Imam Abu Hnaifah untuk membayar puasa saja," pungkasnya.

(TribunPalu.com/Hakim)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved