Tari Tradisional Sulteng
Tari Luminda di Morowali Bukti Keeratan Hubungan Kerajaan Bungku dan Buton, Cek Sejarahnya
Asal-muasal Tari Luminda pada hakikatnya merupakan sebuah akulturasi budaya antara Kerajaan Buton dan Kerajaan Bungku.
TRIBUNPALU.COM, PALU - Setiap daerah di Indonesia memiliki Tarian Tradisonal masing-masing.
Termasuk Sulawesi Tengah yang kental dengan tradisi dan budayanya, memiliki Tarian Tradisional yang syarat akan makna.
Tak sekadar gerakan indah dengan iringan instrumen musik tradisional, Tarian Tradisional berbagai suku di Sulawesi Tengah juga memiliki makna tersendiri.
Dari sekian banyak budaya di Sulawesi Tengah, Tarian Tradisional suku Kabupaten Morowali juga menarik untuk diulas.
Tari Luminda satu dari sekian banyak Tari Tradisional Sulteng yang kerap ditampilkan dalam acara resmi pemerintahan maupun pesta rakyat.
Luminda adalah Tari Tradisional Suku Bungku yang ditarikan pada saat pesta rakyat atau hiburan di lingkungan keluarga istana.
Kata “Luminda” berasal dari bahasa Bungku, 'Lumi' yang berarti halus atau perlahan-lahan dan 'Mepinda' yang berarti menginjakkan kaki atau bergerak.
Baca juga: Tari Dopalak, Tari Tradisional Sulteng Ini Menggambarkan Pekerjaan Mendulang Emas
Sehingga secara etimologis, Tari Luminda diartikan sebagai gerakan tarian yang indah secara halus dan perlahan-lahan.
Asal-muasal Tari Luminda pada hakikatnya merupakan sebuah akulturasi budaya antara Kerajaan Buton dan Kerajaan Bungku.
Akulturasi yang dimaksud yaitu Tari Linda Suku Tangkeno dan Tari Mohasili atau Tumadeako Samba yang merupakan tarian Suku Bungku.
Terdapat empat gerak dasar dalam tari Luminda yaitu Tumadeako Samba, Palampa dan Losa-losa sebagai gerak melingkar, dan Tumadentina.

Keempat gerakan tersebut dahulunya diperuntukkan untuk tujuan yang berbeda-beda.
Gerak Tumadeako Samba khusus ditarikan oleh bangsawan pada saat upacara penyambutan tamu kerajaan, sedangkan tiga sisanya dilakukan oleh rakyat biasa pada pesta rakyat.
Keunikan dari tarian ini adalah gerak penari wanita tidak boleh mengangkat/menggerakkan bahu sampai siku sehingga tumpuan gerak hanya dari siku sampai jari tangan.
Dalam Tari Luminda diiringi pula nyanyian (Kabla) yang disebut Dilae atau Tindi, yang dinyanyikan penari atau pemusik.
Sejarah Tari Luminda
Awalnya Tari Luminda dibawa Waode Mpety, seorang putri keturunan bangsawan Buton yakni anak dari Wakaka dan Lamali Geno, yang menjadi Boki (permaisuri) kedua dari Raja I, Marhum Sangiang Kinambuka.
Setelah mangkatnya permaisuri pertama, Fema’asi, anak dari Mokole Unu-unu dan Fegintu, bertahta di Fafonsandeenga Istana Raha Rinante.
Kedatangan Waode Mpety ke Bungku menggunakan perahu layar yang penuh dengan ukiran dan hiasan sehingga perahu layar tersebut diberi gelar oleh adat “Sopeno Bangka Binooti”.
Waode Mpety membawa serta beberapa pengikutnya yang memiliki tugas masing-masing dalam istana antara lain :
Suku Tangkeno, yang bertugas sebagai pengurus rumah tangga kerajaan yang sekarang bertempat tinggal di Mendui dan Puungkoilu.
Baca juga: Tari Balia, Tarian Ritual Penyembuhan dan Pengusiran Jin dari Suku Kaili Sulteng
Oleh karena tugas dari suku ini, maka dari beberapa narasumber mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari kaum bangsawan Bungku.
Tokoroni, bertugas sebagai tukang kebun kerajaan, yang sekarang suku ini bertempat tinggal di Desa Unsongi.
Tokambofa, bertugas sebagai nelayan kerajaan, yang sekarang ini mendiami Desa Nambo.
Tomoahi, bertugas sebagai pengumpul kayu bakar, sekarang mendiami Desa Laroue.
Tokorumba, yang mendiami daerah Matarape dan desa-desa sekitarnya.
Dari Suku Tangkeno inilah Tarian Linda diakulturasi dengan budaya Bungku, Tari Mohasili.
Hasil akulturasi itu dikenal dengan nama Tumadeako Samba sebagai tarian kaum bangsawan sampai menjadi Tari Luminda yang kita kenal sekarang ini.
Dahulu Tari Luminda dilakukan secara gerak terpisah, misalnya Gerak Tumadeako Samba ditarikan dalam acara penyambutan tamu agung yang datang di Kerajaan Bungku dan dibawakan oleh kaum bangsawan.
Mula-mula penari putri memberikan ujung selendangnya kepada penari pria yang ingin diajaknya menari.
Apabila menolak, maka pria tersebut harus membayar denda satu kupa.

Untuk memulai acara tersebut, pertama-tama gong yang digunakan diberi tanda (pinure) kemudian dibunyikan sebanyak 7 kali oleh seorang khusus (kale).
Begitu pula bila acara tersebut berakhir.
Sedangkan Gerak Palampa, Losa-losa serta Tumadentina, ditarikan dalam pesta-pesta rakyat biasa. Juga biasa dilakukan khusus oleh kerabat istana atau kaum bangsawan.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Tari Luminda adalah gong (karantu), gong kecil sedang (tafa-tafa), dua gendang serta rincing-rincing (pede-pede).
Busana yang digunakan untuk wanita memakai baju adat bungku, yakni Baju Labu, Baju Poko, atau Kubaeya dengan sarung dan sehelai Salenda (selendang).
Selain itu rambut disanggul yang disebut Tampula Tobungku.
Baca juga: Tari Raego Asal Sulawesi Tengah, Disebut Paduan Suara Tertua di Dunia
Sedangkan untuk penari pria menggunakan baju yang disebut Balhadada (model jas tertutup), memakai Saluara (celana) dengan Safu (sarung) sebatas lutut.
Ada pula Palulu (lenso), serta topi adat yang disebut Tali Kacili (untuk bangsawan), Tali Mpolulu (untuk rakyat biasa).
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (pada masa Raja Abdul Wahab-Raja Abdul Razak), tarian ini selalu dipentaskan.
Terutama dalam perayaan penobatan Raja-raja Bungku dilaksanakan setiap tanggal 31 Agustus yang merupakan hari kelahiran Ratu Wilhelmina (Belanda).
Beberapa anak-anak suku yang ada di Kerajaan Bungku pada masa itu diundang untuk membawakan Tari Luminda sehingga tarian ini dikenal hampir sebagian dari suku yang ada di Bungku.
Sehingga dalam perkembangannya terjadilah perbedaan cara gerak dan pola gerak dari masing-masing anak-anak suku antara yang satu dengan yang lain.
Namun tidak ada perbedaan yang mendasar, tetapi mengacu pada 4 gerak dasar yang ada.
Di wilayah Menui Kepulauan, tarian ini disebut Luminda Sare.
Dinamakan Sare karena diiringi nyanyian (pantun) yang disebut Sare.
Perbedaan yang mendasar adalah gerak dasar tari dimana gerak penari wanita dan pria sama geraknya seperti gerak tari pria yang dikenal di Bungku dengan dua pola , Gerak Dasar Palampa dan Losa-losa.(*)