'Untuk Perusahaan Atau Rakyat?' Pakar Ekonomi Kritik BBM Subsidi Lebih Banyak Dipakai Orang Kaya
Pakar Ekonomi beri kritikan pedas terkait BBM Subsidi yang ternyata lebih banyak dipakai oleh orang kaya.
TRIBUNPALU.COM - Pakar Ekonomi beri kritikan pedas terkait BBM Subsidi yang ternyata lebih banyak dipakai oleh orang kaya.
Pakar Ekonomi menilai selama ini penyaluran BBM subsidi ke masyarakat sebagian besar tak tepat sasaran.
Oleh karena ini Pakar Ekonomi Faisal Basri berikan kritikan pedas kepada penikmat BBM subsidi yang ternyata merupakan orang kaya.
Faisal Basri sejumlah perusahaan sawit pun menikmati hingga puluhan triliun rupiah subsidi BBM.
Faisal Basri mengatakan, subsidi BBM memang semakin banyak dinikmati seiring peningkatan penghasilan.
"Untuk pertalite, 70 persen dipakai mobil. Dari 70 persen itu, 98 persen mobil pribadi,” ujarnya, Selasa (30/8/2022), di Jakarta.

Ada pun dari 30 persen sepeda motor pengonsumsi pertalite, 90 persen merupakan kendaraan pribadi.
Di luar cakupan itu, pertalite dikonsumsi kendaraan angkutan umum atau angkutan daring.
Harga pertalite saat ini masih disubsidi, meski pemerintah tidak menyebutnya secara spesifik.
Anggaran subsidi diletakkan di berbagai pos APBN hingga anggaran BUMN.
Pernyataan Faisal selaras dengan temuan sejumlah penelitian yang menunjukkan hingga 80 persen subsidi BBM dinikmati orang mampu.
Bila mengacu pernyataan Kementerian Keuangan, jika subsidi BBM capai Rp 502 triliun per tahun, maka orang kaya Indonesia menhabiskan Rp 400 triliun subsidi BBM.
Anggota DPR RI Adian Napitupulu ungkap hal yang tidak kalah mengejutkan.
Ia menaksir, paling tidak Rp 56 triliun subsidi BBM dinikmati perkebunan sawit.
Bahkan, nilainya bisa mendekati Rp 147 triliun per tahun.
"Jadi subsidi ini untuk perusahaan atau rakyat? Jangan-jangan yang terima perkebunan besar?" ujarnya.
Perkebunan sawit, yang 332 di antaranya dimiliki perusahaan asing, nikmati subsidi dengan cara beli solar untuk angkutan hasil panen.
Padahal, negara hanya menerima Rp 20 triliun per tahun dari pajak sawit.
Adian juga menyoroti damapk kemacetan yang menghabiskan Rp 71 triliun di Jakarta dan sekitarnya saja.
"Kalau menghitung kota besar lain, nilainya bisa mencapai Rp 300 triliun" kata dia.
Ganti Subsidi
Faisal menyebut, pola itu mengungkap ketidakadilan serius dan jelas sangat merugikan masyarakat miskin.
Fakta itu mematahkan pendapat, subsidi BBM harus diberi sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin.
Jika pemerintah serius membantu masyarakat miskin, lebih baik mengalihkan subsidi ke pola lain.
Pola itu harus tetap sasaran dan benar-benar diterima masyarakat miskin.
Faisal juga mengingatkan, Indonesia bukan negara kaya minyak.
Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak.
Sebab, produksi minyak di bawah kebutuhan nasional.
Indonesia memang pernah mengalami periode ekspor migas lebih tinggi dibandingkan impornya.
Namun, Indonesia berhenti mengalami surplus perdagangan migas dan energi sejak 2007.
"Sejak 2013 malah sudah defisit perdagangan minyak" kata dia.
Dalam sembilan tahun terakhir, Indonesia mengimpor minyak lebih banyak dibandingkan ekspornya.
Pada 2019, defisitnya mencapai 59,1 juta barel.
Jika dihitung dalam nilai uang, Indonesia menanggung defisit 8 miliar dollar AS pada 2018-2019 saja.
Nilai itu setara lima persen APBN Indonesia saat ini.
Dalam 20 tahun ke depan, defisit itu akan membesar dan mencapai 40 miliar dollar AS pada 2040.
Faisal mengatakan, kondisi industri migas dalam negeri memang menyulitkan untuk memacu produksi.
Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun.
Ada pun gas Indonesia mengandung banyak metana sehingga lebih cocok dijadikan LNG.
Padahal, Indonesia membutuhkan LPG yang bahan dasarnya gas alam dengan kandungan mayoritas propana.
(*/ TribunPalu.com / Wartakotalive.com/CC)