Hari Perempuan Internasional, Menag Ajak Semua Pihak Hentikan Diskriminasi Gender atas Nama Agama

perempuan memiliki peran kunci dalam membangun nilai-nilai toleransi dan kohesi sosial di masyarakat, yang berkontribusi secara signifikan.

Editor: Regina Goldie
HO/Istimewa/Kementrian Agama
HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL - Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, bersama Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, dan Wakil Direktur Voice of Istiqlal, Farid F. Saenong, dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam rangka Hari Perempuan Internasional, Kamis (6/3/2025) malam. 

Baca juga: Kapolresta Palu: Patroli Tarawih Keliling untuk Pererat Hubungan dengan Masyarakat

“Ini amat penting untuk semakin memperkuat perdamaian di Maluku yang sekitar 20 tahun lalu mengalami konflik sosial yang amat tragis,” kata Matius.

Farid F. Saenong, Wakil Direktur Voice of Istiqlal sekaligus Staf Khusus Menag RI, mengatakan isu perempuan dan kesetaraan gender menjadi bagian tidak terpisahkan dari nilai dan prinsip yang dikembangkan di Masjid Istiqlal. Salah satunya dilakukan lewat Pendidikan Kader Ulama (PKU) untuk peserta perempuan.

“Pendidikan Kader Ulama ada peserta regular, dan secara spesifik kami membuka kelas khusus peserta perempuan agar perempuan mendapatkan pendidikan keulamaan. Ide ini gaungnya cepat membahana sampai Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, juga mengikuti strategi kita,” katanya.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI, Indah Nuria Savitri, mengatakan perdamaian akan lebih berkelanjutan ketika perempuan berpartisipasi secara aktif dalam proses pencapaiannya. Perserikatan Bangsa-bangsa memiliki dua instrumen dalam menjamin kesetaraan gender dan mendorong perempuan sebagai agen-agen perdamaian, yaitu Beijing Declaration and Platform for Action (1995) dan UN Security Council Resolution (UNSCR) 1325 on Women, Peace, and Security (2000). 

“Dari data, 35 persen kesepakatan perdamaian dapat bertahan setidaknya selama 15 tahun jika perempuan aktif terlibat. Ini menunjukkan kehadiran perempuan dalam suatu proses perdamaian, dalam diplomasi, bukan hanya simbolis, tapi menjadi suatu kebutuhan,” kata Indah.

Baca juga: Kapolresta Palu: Patroli Tarawih Keliling untuk Pererat Hubungan dengan Masyarakat

Anggota DPR RI, Mercy Chriesty Barends, menyatakan ketidakadilan secara sosial dan struktural seringkali membuat hak-hak perempuan menjadi tersingkirkan. Itu sebabnya dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang kuat perspektif gender untuk membangun kualitas perempuan

Guru Besar HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menambahkan literasi keagamaan lintas budaya menjadi jawaban untuk mengajarkan perdamaian secara pedagogik di sekolah. Sikap toleransi dan moderat yang selama ini hanya pada tataran konsep bisa diturunkan secara konkret melalui program LKLB. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved