OPINI

BPJS Kedok Jaminan Sosial Peras Rakyat

Penulis: Citizen Reporter
Editor: mahyuddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dokter Umum dr Sakinatul Qulub

 Penulis: dr Sakinatul Qulub

Dokter umum

Satu lagi pemberlakuan kebijakan pemerintah yang cukup menggemparkan dan diterapkan awal Maret, yakni semua warga wajib memiliki kartu BPJS sebagai syarat pengurusan berbagai keperluan. 

Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam instruksi tersebut, warga diminta memiliki kartu jaminan kesehatan untuk pengurusan surat izin mengemudi, pengurusan surat tanda nomor kendaraan, jual beli tanah hingga berangkat haji. 

Sehubungan dengan hal itu, Kepala staf Ahli Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pemberlakuan kebijakan itu tidak seharusnya dipandang sebagai hal yang negatif.

Dimana masyarakat yang mampu melakukan pembelian tanah, merupakan masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang relatif bagus, sehingganya tidak memiliki masalah Ketika membayar iuran BPJS. 

BPJS merupakan singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang memiliki tugas untuk menjadi Lembaga yang menyelenggarakan jaminan Kesehatan dan ketenagakerjaan bagi masyarakat.

Salah satu program BPJS yakni Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), memiliki sistem dimana masyarakat wajib membayar iuran sebagai tabungan biaya perawatan jika sakit ke depannya, ada juga masyarakat yang iurannya ditanggung pemerintah (PBI).

Polemik BPJS sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak awal dibentuknya lembaga ini.

Banyak dari kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan adanya sistem ini.

Mulai dari bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 H, yang berisikan setiap warga berhak memperoleh pelayanan Kesehatan masyarakat.

Mirisnya, pemenuhan hak ini harus diiringi dengan kewajiban bagi rakyat untuk membayar iuran tiap bulannya.

Dampak yang dirasakan masyarakat bisa sampai sekarang, sebagai contohnya warga yang menunggak pembayaran iurannya tidak bisa langsung menggunakan haknya kecuali setelah pembayaran tunggakan.

Bahkan ke depan ketika kebijakan baru terterapkan, semakin sulit mengurus dalam hal adminstratif karena tungggakan yang terus membengkak.

Ditambah lagi, kebijakan iuran BPJS yang naik turun beberapa tahun belakangan ini, seakan memberi angin segar sementara bagi rakyat.

Dalam Perpres yang dibatalkan MA, pemerintah mengajukan kenaikan menjadi Rp160.000 untuk kelas I dan Rp 42.000 untuk kelas III.

Sementara kelas II tidak ada perubahan. Terlepas dari penjelasan pemerintah, Perpres terbaru tentang kenaikan iuran BPJS kesehatan tetap menyalahi putusan MA karena sesungguhnya alasan MA membatalkan Perpres lama bukan karena masalah besaran nominalnya tapi lebih kepada langkah pemerintah dalam menaikkan iuran BPSJ.

MA melihat alasan pemerintah untuk menaikkan iuran karena adanya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dapat dibuktikan. Masalah sebenarnya terletak pada buruknya manajemen BPJS secara keseluruhan, sehingga menaikkan iuran tentu bukan solusi yang efektif (https://pshk.or.id/).

Majelis Ulama Indonesia sendiri pada tahun 2015 sendiri pernah menyatakan bahwa BPJS tidak sesuai syariah karena diduga mengandung maysir, riba dan gharar.

Meskipun tahun 2018 Ketua MUI menyatakan BPJS Kesehatan telah siap menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah, sebagaimana Ijtima Ulama 2015.

Gus Baha, seorang ulama tafsir menyatakan dan menyarankan, pembayaran BPJS Kesehatan harus diniatkan sedekah karena BPJS memiliki potensi gharar (penipuan). 

Maka agar tidak jatuh kedalam haram, yang membayar iuran diminta niat hibah, sehingga jika tidak mendapatkan apa-apa tidak mengeluh.

Kembali ke pembahasan awal terkait kebijakan, penerapan peraturan ini dapat dinilai tidak berdasar dan tidak mengenal urgensi keharusan untuk segera dilaksanakan.

Dari segi kebutuhan tidak ada yang menjadi alasan untuk menyatukan regulasi BPJS dalam pengurusan SIM, SKCK hingga jual beli tanah.

Bahkan kebijakan ini, terkesan memaksa rakyat untuk mengikuti dan tunduk dengan sistem administrasi agar semua rakyat menjadi peserta BPJS yang ujungnya-tentunya melaksanakan iuran bulanan.

Lantas jika demikian, apa bedanya sistem jaminan kesehatan nasional yang diatur negara dengan sistem asuransi buatan swasta ?

Selain kebijakan penyatuan pengurusan admnistrasi dengan BPJS, permasalahan lain yang bisa ditelisik hari ini yakni aturan baru program JHT oleh BPJS-TK yang boleh dicairkan ketika berusia 56 tahun, serta akan diberlakukannya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang awalnya 10% menjadi 11%.

Benang merah dari ketiga kebijakan ini berujung pada pembebanan kepada rakyat untuk membayar kesejahteraan yang seharusnya ditanggung oleh negara, tetapi karena negara berlepas tangan akan kewajiban itu, maka secara tidak langsung rakyatlah yang kembali lagi harus turun tangan meghidupi diri.

German Technichal Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif menjembatani lahirnya JKN menyebutkan, Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi, untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial (sjsn.meskokesra.go.id).

Pun dari hal ini dapat disimpulkan bahwa peran negara sebagi pelindung itu hilang.

Sejak awal tujuan dibuatnya jaminan kesehatan sosial adalah pembebanan pembayaran kepada rakyat, sedang negara tidak melakukan apa-apa.

Kesalahan yang paling fundamental dari sistem jaminan sosial yakni diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang berujung pada pengalihan tanggung jawab negara.

Negara menjadi operator serta fasilitator yang menalangi dana yang terkumpul dari rakyat dan melakukan regulasi pada sistem tersebut.

Maka wajar jika hari ini, kesehatan menjadi barang yang mahal, belum lagi gelombang ketiga pandemi covid yang dialami Indonesia.

Oleh karenanya, bukanlah hal yang bijak dalam membuat keputusan dengan persyaratan admnistrasi harus menjadi anggota BPJS.

Rakyat seakan babak belur digempur dari segala arah karena ketidakberdayaan menghikuti peraturan yang ada.

Sistem ekonomi kapitalis sendiri bisa langgeng dan tetap subur keadaanya, karena sistem ini dipandang menjadi penata ekonomi yang baik jika negara tidak terlibat dalam pengelolaan ekonomi.

Semakin sedikit keterlibatan negara, maka semakin baik tampakannya.

Lantas jika bukan negara, siapa yang mengelola hal tersebut ? Tentunya pihak swasta, dalam hal ini adalah BPJS dalam pemerintahan.

Ujung-ujungnya akan terterapkan sistem supply and demand, di mana warga akan meminta untuk difasislitasi terkait kesehatan, sedangkan swasta mencari cara agar biaya tercukupi, bisa lewat APBN bisa juga lewat iuran yang dinaikkan.

Sekali lagi tentu menjadikan rakyat sebagai sapi perah untuk bisa memenuhi kebutuhan jaminan sosial.

Dalam sistem islam, jaminan kesehatan hari ini beranding terbalik dengan jaminan kesehatan dalam sistem Islam.

Negara memiliki peran penting dan memiliki tanggung jawab utuh dalam memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk di bidang kesehatan.

Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab kepala negara untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya.

Rasulullah SAW bersabda: Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata:

Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR al-Hakim,Al-Mustadrak, IV/7464).

Hadis di atas juga menunjukkan, bahwa Khalifah Umar selaku kepala negara pada saat itu telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. 

Pertama: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. 

Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. 

Ketiga: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. 

Keempat: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.

Layanan kesehatan wajib diberikan diberikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang lagi strata ekonomi rakyatnya.

Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya.

Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.

Negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut.

Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.

Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa, sebab tanggung jawab pemimpin negara untuk memberi layanan pada rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah SWT.(*)

Berita Terkini