Ternyata Sesuai Aturan, 4 Anggota DPR yang Dinonaktifkan Tetap Kantongi Gaji
Keputusan penonaktifan empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024–2029 masih menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
TRIBUNPALU.COM - Keputusan penonaktifan empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024–2029 masih menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Keempat anggota tersebut adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai NasDem, serta Eko Patrio dan Uya Kuya dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Kekesalan publik semakin memuncak setelah beredar kabar bahwa mereka disebut masih menerima gaji penuh meski statusnya kini dinonaktifkan.
Untuk diketahui, penonaktifan keempatnya mulai berlaku sejak 1 September 2025.
Pertanyaan pun muncul, apakah benar anggota DPR RI yang dinonaktifkan masih mendapatkan hak gaji?
Berikut ulasannya.
Baca juga: Patroli Humanis Polres Sigi Pastikan Situasi Kondusif di Kabupaten Sigi
Ketentuan Hukum Masih Terima
Berdasarkan peraturan yang berlaku, anggota DPR yang dinonaktifkan tetap menerima gaji.
Hal ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Pada pasal 19, peraturan tersebut mengatur mengenai penonaktifan atau pemberhentian sementara anggota DPR.
Secara spesifik, pasal 19 ayat 4 menyatakan bahwa anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan.
“Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal tersebut.
Dengan demikian, meskipun Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya dinonaktifkan, mereka masih berstatus sebagai anggota DPR dan tetap berhak menerima gaji.
Mengenal Pasal 19 Ayat 4
Nah Tribuners, jika kita ulik dari pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR No. 1/2020 tersebut berisikan jika anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak tersebut tidak hanya berupa gaji pokok, melainkan juga berbagai tunjangan.
Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan yang dimaksud meliputi tunjangan istri/suami, anak, jabatan, kehormatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.
Baca juga: Yosepina Iryani Tunjukkan Kepedulian, Duduk Bersama Mahasiswa Usai Aksi Damai
Bedanya Nonaktif dan Dipecat
Menurut kacamata hukum, istilah nonaktif sejatinya tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Ini menjadikan status anggota DPR berada dalam limbo, tidak sepenuhnya diberhentikan, tetapi juga tidak bisa menjalankan fungsinya secara penuh.
Secara internal, nonaktif diartikan sebagai pemberhentian sementara atau pembekuan fungsi.
Ini adalah langkah yang diambil partai untuk memberikan sanksi tanpa harus menempuh prosedur hukum yang rumit.
Dengan kata lain, ini adalah tindakan disipliner yang bersifat internal.
Konsekuensi dari status nonaktif ini sangat signifikan.
Secara hukum, keempatnya memang masih berstatus sebagai anggota DPR RI.
Namun, mereka kehilangan legitimasi politik di bawah bendera Fraksi partai.
Ini adalah poin krusial yang membedakannya dari pemecatan.
Mereka tidak lagi bisa terlibat dalam alat kelengkapan dewan.
Hal ini mencakup komisi, badan, atau panitia lain yang dibentuk di DPR.
Semua aktivitas yang memerlukan kehadiran mereka dalam kapasitas sebagai anggota fraksi partai kini dihentikan.
Selain itu, keduanya juga tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik di bawah naungan partai.
Ini berarti mereka tidak bisa mewakili partai dalam acara-acara publik, pertemuan, atau kampanye. Ini secara efektif membekukan peran politik mereka.
Baca juga: Korban Salah Sasaran, Sopir Ojol Dandi Tewas Setelah Diteriaki Intel saat Nonton Demo di Makassar
Namun, yang menarik, kursi keempatnya di parlemen tetap sah milik mereka.
Mereka tidak kehilangan hak sebagai anggota legislatif, meskipun tidak bisa beraktivitas.
Ini adalah kondisi yang tidak biasa dan menunjukkan bahwa NasDem masih mempertimbangkan langkah selanjutnya.
Kursi mereka akan tetap aman hingga ada proses resmi yang disebut recall.
Recall atau Pergantian Antarwaktu (PAW) adalah mekanisme yang diatur dalam UU MD3.
Proses ini memungkinkan partai untuk secara resmi menarik kadernya dari parlemen.
Proses recall ini memerlukan persetujuan dari pimpinan partai, yang kemudian mengusulkan penggantian anggota DPR kepada Presiden melalui pimpinan DPR.
Ini adalah langkah formal yang harus ditempuh jika partai ingin benar-benar memberhentikan kadernya.
Jika proses recall dilakukan, barulah status hukum sebagai anggota dewan akan berakhir.
Posisi mereka di parlemen bisa digantikan oleh calon lain dari partai yang sama, sesuai dengan perolehan suara pada pemilihan legislatif sebelumnya.(*)
Artikel telah tayang di TribunPriangan.com
Viral, Kisah Ibu Kembalikan Jam Tangan Richard Mille Milik Ahmad Sahroni: Ini Bukan Hak Kita |
![]() |
---|
Uya Kuya Tepis Isu Tinggalkan Indonesia Saat Rumahnya Dijarah Massa |
![]() |
---|
Reaksi Istri Uya Kuya Usai Rumahnya Dijarah Massa, Bela dan Ungguh Keberhasilan Suami |
![]() |
---|
Rumah Dijarah Massa, Di mana Ahmad Sahroni, Uya Kuya hingga Sri Mulyani Berada? |
![]() |
---|
Status Nonaktif Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI, Apakah Sama dengan Pemecatan? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.