Palu Hari Ini
Kekerasan Seksual di Lokasi Pengungsian Sudah Terjadi Sebanyak 56 Kali, Paling Sering di Kamar Mandi
Seperti pemerkosaan, diintip saat di kamar mandi umum, mendapat perkataan cabul, bahkan pelecehan fisik dengan menyentuh bagian intim wanita.
Penulis: Haqir Muhakir |
TRIBUNPALU.COM, PALU -- Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat, sampai Juni 2019 sudah terjadi sebanyak 56 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di lokasi pengungsian di Palu, Sigi, dan Donggala.
Berbagai bentuk pelecehan seksual diterima penyintas perempuan di pengungsian.
Seperti pemerkosaan, diintip saat di kamar mandi umum, mendapat perkataan cabul, bahkan pelecehan fisik dengan menyentuh bagian intim wanita.
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Provinsi Sulteng, Sukarti, saat dihubungi Selasa (23/7/2019) siang.
• Sulteng Bergerak: Tak Ada Aturan Larang Warga Mengontrak Sebelum Bencana Tak Bisa Tinggal di Huntara
Sukarti mengatakan, tindakan kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami penyintas perempuan itu, paling sering terjadi di fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) dan titik sumber air bersih.
Hal itu dikarenakan, MCK dan lokasi air bersih berada di satu titik, yakni di kamar mandi umum dan dapur umum.

Kondisi itu membuat peluang perbuatan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap penyintas perempuan di lokasi pengungsian, cukup besar.
"Jadi saat perempuan di kamar mandi atau ke dapur paling sering mendapat perlakuan tidak baik," tambah Sukarti.
• Sulteng Bergerak: Ranperda RTRW Sulteng Tidak Berperspektif Mitigasi Bencana
Dari pemerintah, khususnya DP3A Sulteng, akan dilakukan adanya sub klaster perlindungan hak perempuan.
Sub klaster itu akan fokus penyelesaian permasalahan yang dialami perempuan dan anak.
"Itu tujuan untuk berdiskusi dan mencari jalan keluar dari isu-isu terkait perempuan dan anak yang muncul pasca bencana," kata Sukarti.
Tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lokasi pengungsian, kata Sukarti, baru 1 kasus yang berlanjut ke laporan kepolisian.
• Tanggapi Perselisihan Gubernur dan Politisi Nasdem, Sulteng Bergerak Desak Pemulihan Pascabencana
Namun kasusnya tidak berlanjut, karena pihak keluarga mencabut laporan.
Dengan pertimbangan, yang melakukan kekerasan seksual merupaka ayah tiri yang menjadi tulang punggung keluarga.
Selain itu, secara umum, pelaku tindak kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan oleh keluarga terdekat korban.
Pernikahan Anak Bawah Umur Masih Marak di Pengungsian
TRIBUNPALU.COM, PALU -- Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat, sampai Juni 2019 angka pernikahan anak di bawah umur masih tinggi.
Khususnya di lokasi pengungsian yang ada di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala (Pasigala).
Tercatat, sejauh ini angka pernikahan yang melibatkan perempuan di bawah usia 18 tahun itu, sudah mencapai 14 kasus yang terjadi di lokasi pengungsian Pasigala.
"Itu yang dilaporkan ke Pos Ramah Perempuan di lokasi pengungsian," jelas Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Provinsi Sulteng, Sukarti, saat dihubungi Selasa (23/7/2019) siang.
• Kekerasan Seksual di Lokasi Pengungsian Sudah Terjadi Sebanyak 56 Kali, Paling Sering di Kamar Mandi
Dari 14 kasus itu, paling banyak berada di lokasi pengungsian Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan.
Faktor penyebab pernikahan anak di bawah umur itu kata Sukarti, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi orang tua anak.
Sebab, pascabencana, tak sedikit penyintas yang kehilangan rumah, harta benda, bahkan mata pencarian.
"Sehingga kalau ada orang yang suka anak gadisnya, kemudian usia anak sudah dirasa cukup, maka dikawinkan," jelasnya.
• Sulteng Bergerak: Tak Ada Aturan Larang Warga Mengontrak Sebelum Bencana Tak Bisa Tinggal di Huntara
Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban pengeluaran orang tua.
Lurah Petobo, Alfin Hi Ladjuni membenarkan, bahwa di lokasi pengungsian Petobo sudah terjadi sebanyak 5 kali pernikahan yang melibatkan anak di bawah umur.
Anak-anak yang dinikahkam itu berusia sekitar 14-17 tahun.
" Dibandingkan dengan daerah pengungsian yang lain, memang Petobo yang banyak melaksanakan pernikahan usia dini," jelasnya.
(TribunPalu.com/Muhakir Tamrin)