Dampak dan Risiko yang Dihadapi Pemerintah RI jika Karantina Wilayah Diberlakukan
Indonesia tak mengenal istilah lockdown, melainkan konsep karantina wilayah yang diatur dalam Undang Undang Nomor 6 tahun 2018.
Butuh ketegasan dari pemerintah pusat untuk mengambil langkah karantina yang justru sudah diterapkan lebih dulu oleh sejumlah daerah. Ada risiko dan dampak dari langkah yang akan diambil dalam penanganan pandemi virus corona Covid-19 yang terus menyebar.
TRIBUNPALU.COM - Usulan agar pemerintah segera memberlakukan karantina wilayah untuk penanganan pandemi virus corona, semakin menguat.
Di jagat maya, tagar #LockdownAtauMusnah sempat meramaikan lini masa twitter yang menyerukan cara itu sebagai jalan menghentikan laju penyebaran Covid-19.
Sejumlah tokoh dan pengamat juga menilai hal yang sama.
Pendiri Lembaga Survei Indonesia Denny JA, menganalisis, cara itu memang semestinya diambil pemerintah mengingat akan ada arus mudik menjelang puasa dan lebaran.
Namun, menurut Denny, Indonesia tak mengenal istilah lockdown tapi konsep karantina wilayah yang diatur dalam Undang Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Karantina wilayah, kata Denny, merupakan kewenangan pemerintah pusat.
• Pemakaian Hand Sanitizer untuk Cegah Covid-19, Tim Pakar Gugus Tugas: Gunakan dengan Bijak dan Aman
• WHO Peringatkan Bahaya Semprot Disinfektan di Bilik Sterilisasi, Guru Besar ITS Beri Saran Ini
Namun, kini sejumlah daerah mulai banyak mengambil inisiatif sendiri untuk melindungi wilayahnya. Seperti Solo, Bali, Tegal, Papua dan Maluku.
"Jika Jokowi terlambat bertindak menerapkan karantina wilayah, dan penyebaran virus corona memburuk, sejarah akan menyalahkan Jokowi," kata Denny JA saat dikonfirmasi wartawan, Minggu (29/3/2020).
Denny JA menerangkan Amerika Serikat dan Itali bisa menjadi contoh.
Dua negara itu mengalahkan Cina dari sisi angka terpapar (AS) dan angka kematian (Itali).
"Salah satu penyebabnya karena pemerintah pusat dianggap lambat memberlakukan sejenis karantina wilayah (lockdown, semi lockdown)," tutur dia.
Hal penting, kata dia, harus ada aturan bahwa arus uang dan barang tetap lancar. Denny bahkan menyatakan Jokowi jangan berhenti di tingkat imbauan.
"Namun harus juga membuat aturan yang memberikan sanksi hukuman fisik atau denda," kata Denny JA.
• Jika Karantina Wilayah Diterapkan, Mahfud MD Ingin Mencontoh Lockdown di Belanda
• Novel Baswedan: Jika cuma Ancaman Lisan, Hukuman Mati Koruptor Dana Virus Corona tak Bakal Efektif
Butuh Ketegasan Pemerintah Pusat
Pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta Saiful Anam, menilai butuh ketegasan dari pemerintah pusat terkait penerapan karantina wilayah sesuai kebutuhan wilayah masing-masing.
"Saya kira pemerintah pusat harus tegas dalam hal masalah ini untuk menentukan status karantina apakah cukup dengan karantina rumah, karantina rumah sakit ataukah karantina wilayah," ujar Saiful, ketika dikonfirmasi, Senin (29/3/2020).
Penetapan status itu, kata dia, merupakan kewenangan pemerintah pusat.
"Saya kira pemerintah pusatlah yang memiliki tanggung jawab untuk menentukan status karantina kesehatan. Tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," jelasnya.
Saiful menegaskan wabah virus corona atau Covid-19 merupakan kejadian luar biasa yang menimbulkan bahaya kesehatan lintas wilayah atau negara.
Sehingga hal itu telah memenuhi unsur kedaruratan kesehatan masyarakat.
"Saya mengingatkan bahwa kasus Covid-19 ini merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa karena telah menimbulkan bahaya lintas wilayah atau bahkan negara," katanya.
Aturan Tumpang Tindih
Meski merupakan kewenangan pemerintah pusat, sejumlah daerah kini mengambil inisiatif sendiri untuk melindungi wilayahnya.
Soal itu, pengamat Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, menilai inisiatif ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut dia, berdasarkan aturan hukum di Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, Kepala Daerah tidak diberikan atribusi kewenangan untuk melakukan tindakan karantina wilayah, baik sebagian maupun keseluruhan.
“Begitupun kewenangan selain karantina wilayah yang menjadi domain pemerintah pusat. Yaitu, kewenangan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah menjadi kewenangan atribusi pemerintah pusat," kata dia, saat dihubungi, Minggu (29/3/2020).
• Per 1 April, McDonalds di Seluruh Indonesia Tak Layani Pelanggan yang Makan di Tempat
• Ketua Tim Riset Corona Unair Klaim Vaksin Penangkal Corona Segera Ditemukan, Ini Penjelasannya
• Putus Mata Rantai Penyebaran Covid-19, Dokter Tirta: Anak Muda Nggak Usah Nongkrong Ngopi Dulu!
Jika, merujuk Pasal 11 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, maka “Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya”.
Sehingga, kata dia, segala tindakan administratif pemerintah daerah itu mempunyai implikasi hukum yang serius pada semua sektor lapangan hukum publik, kendati kebijakan itu untuk menyelamatkan masyarakat.
Selain itu, dia membeberkan, pemerintah pusat, bertanggungjawab terhadap kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak, seperti yang tercantum di Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan.
Sementara, pada Pasal 55 ayat (2), tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.
Merujuk aturan itu, dia meminta, tidak ada lagi kepala daerah mengambil langkah serta menafsirkan situasi sendiri-sendiri terkait pencegahan pandemi covid-19 ini.
Dalam situasi yang sudah sangat mendesak serta genting seperti ini, dia meminta presiden secepatnya mengambil langkah dan respon cepat dan tepat, dengan segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih operasional sesuai amanat UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dampak Ekonomi
Apapun langkah yang diambil pemerintah nantinya, saat ini pandemi corona sudah memberi dampak negatif pada ekonomi nasional.
Center of Reform on Economics (CORE) memprediksikan ekonomi Indonesia secara kumulatif tumbuh di kisaran -2 persen hingga 2 persen jika pemerintah mengambil langkah lockdown.
"Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah China maka puncak tekanan ekonomi diperkirakan akan terjadi pada kuartal kedua. Setelahnya (kuartal ketiga dan keempat) akan masuk masa pemulihan," ujar keterangan resmi CORE di Jakarta, Minggu (29/3/2020).
Akan tetapi, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi jika penyebaran Covid-19 di Indonesia berlangsung lebih dari dua kuartal dan negara-negara yang menjadi mitra utama ekspor Indonesia juga mengalami hal serupa.
Dalam kondisi tersebut, tekanan permintaan domestik dan global akan lebih lama, sehingga sangat kecil peluang ekonomi akan tumbuh positif.
Adapun selain melemahkan pertumbuhan ekonomi, pandemi ini juga berpotensi mendorong peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
"Hal ini sangat dimungkinkan mengingat jumlah penduduk di sekitar garis kemiskinan yang masih sangat tinggi, meskipun persentase penduduk di bawah garis kemiskinan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir," kata pernyataan tersebut.
Sekadar informasi, penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 66,7 juta orang per Maret 2019.
Angka itu hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan atau golongan miskin dan sangat miskin.
(Tribunnews/Tim: Dennis, Glery, Lita, Yanuar, Vincentius)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Karantina Wilayah, Risiko dan Dampaknya Bagi Pemerintah Indonesia