14 Tahun Gempa Yogyakarta dalam Kenangan: ''Mengajarkan Kita untuk Saling Mendukung dan Berbagi''
Tak terasa 14 tahun sudah, gempa besar dengan magnitudo 5,9 yang terjadi di Yogyakarta tercatat dalam sejarah Indonesia.
Relawan dan petugas medis kewalahan menghadapi banyaknya korban akibat gempa Bumi itu, bahkan untuk menyangga tulang patah menggunakan sisa rangka rumah di sekitar kantor PMI.
Saat itu, sampai tengah hari dirinya baru teringat rumahnya di Dlingo.
Waku itu dirinya masih tinggal bersama keluarga sebelum pindah ke Pleret.

Kondisi di Kecamatan Dlingo cukup tenang dan kerusakan tidak begitu parah seperti daerah kota Bantul dan sekitarnya.
"Banyak warga Dlingo yang malah turun (posisi Dlingo di perbukitan perbatasan dengan Gunungkidul) untuk membantu warga di bawah," ucap Riza.
• Pakar Ekonomi Nilai Penerapan New Normal di Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19 Belum Mendesak
• Definisi dan Penerapan New Normal di Indonesia, Jokowi Ajak Hidup Berdamai dengan Virus Corona
Kegotongroyongan semakin erat
Beberapa hari kemudian suasana di Bantul semakin mencekam karena saat itu hujan turun, banyak rumah yang kondisinya miring runtuh.
Saat itu bersama relawan dirinya menghitung rumah rusak akibat gempa bumi.
"Pengalaman gempa bumi 14 tahun lalu, mengajarkan kita untuk saling mendukung, agar bisa bangkit bersama. Terbukti warga Bantul dan DIY bisa bangkit dari bencana," ucap Riza.
Kepala Dukuh Bibis, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Irvan Muhhamad menceritakan, tak jauh berbeda kondisi saat itu.
Bahkan adiknya yang masih duduk SMP kala itu menjadi salah satu korban meninggal bersama 12 warga lainnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006: Di Balik Bencana, Gotong Royong Warga Jadi Makin Erat"
Penulis : Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono