Duduk Perkara Gugatan RCTI Soal UU Penyiaran,Jika Dikabulkan,Live di Medsos Tanpa Izin Akan Dilarang
Pengajuan uji materi perihal UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 1 angka 2 diajukan RCTI dan iNews bulan Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
TRIBUNPALU.COM - PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) mengguggat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dua perusahaan media itu mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top ( OTT) yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix.
Apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha terancam tidak leluasa menggunakan media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook dkk untuk melakukan siaran langsung (live).
Namun, bagaimana sebenarnya kronologi gugatan ini? Mengapa RCTI dan iNewsTV mengajukan gugatan?
Pengajuan uji materi
Pengajuan uji materi perihal UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 1 angka 2 diajukan RCTI dan iNews bulan Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
Sidang pendahuluan dilakukan pada Senin, 22 Juni 2020 di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, yang dihadiri kuasa hukum pemohon, dalam hal ini RCTI dan iNews.
Sidang kedua dilakukan pada 9 Juli dan berlanjut pada sidang ketiga pada tanggal 26 Agustus di tempat yang sama.
Pada sidang terakhir dihadiri oleh perwakilan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Komuikasi dan Informatika (Kominfo) serta Kementerian Hukum dan HAM.
Guagatan dan Permohonan
Dalam gugatannya, RCTI dan iNews menyoalkan Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran yang berbunyi: siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yag bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
"Dengan demikian, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga memproduksi konten-konten siaran, sehingga seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran. Hanya saja perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan," tulis gugatan tersebut.
RCTI dan iNews juga menilai pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bersifat ambigu dan menciptakan ketidakpastian hukum. Pasal 1 angka 22 UU Penyiaran tertulis:
Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
Pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal.