Di Tengah Pandemi Covid-19, Angka Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Semakin Meningkat
Angka kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat seiring diberlakukannya lockdown dalam memutus rantai penularan virus corona Covid-19.
TRIBUNPALU.COM - Pandemi virus corona Covid-19 telah berlangsung selama hampir satu tahun dan melanda lebih dari 200 negara atau teritori di dunia.
Tak hanya sistem kesehatan yang kolaps, pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya.
Termasuk isu yang berkaitan dengan perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Mengutip laman Channel News Asia, angka kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat seiring diberlakukannya lockdown atau penguncian sementara (kuncitara) dalam memutus rantai penularan Covid-19.
Sementara, diketahui Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperingati setiap tanggal 25 November.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai penjuru dunia, dan angkanya terus meningkat selama pandemi Covid-19 merebak.
Mulai dari lonjakan kasus pemerkosaan di Nigeria dan Afrika Selatan hingga meningkatnya jumlah perempuan yang hilang di Peru, tingginya kasus pembunuhan terhadap perempuan di Brazil dan Meksiko, dan asosiasi-asosiasi yang sudah kewalahan di Eropa.
Pandemi Covid-19 telah memperburuk 'wabah' kekerasan seksual di dunia.

Menurut data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), lockdown telah memicu peningkatan jumlah aduan atau laporan kekerasan dalam rumah tangga sebesar 25 persen di Argentina, 30 persen di Siprus dan Prancis, dan 33 persen di Singapura.
Bisa dibilang hampir di semua negara, langkah-langkah untuk menekan penyebaran virus corona telah membuat wanita dan anak-anak 'terkurung' dan tinggal di rumah saja.
"Rumah menjadi tempat paling berbahaya bagi perempuan," kata asosiasi-asosiasi perempuan di Maroko pada April 2020 lalu sembari menekan otoritas setempat untuk melakukan operasi tanggap darurat.
Baca juga: Studi Sebut Vaksin Covid-19 Sinovac Dorong Respon Imun Tubuh dengan Cepat
Baca juga: Dirjen WHO: Vaksin Saja Tidak Cukup untuk Menghentikan Pandemi Covid-19
Baca juga: Jokowi Perintahkan Kapolri hingga Satgas di Daerah untuk Beri Perhatian Khusus pada Pilkada 2020
Ada sebuah kisah dari salah satu perempuan korban kekerasa di India.
Heena (bukan nama sebenarnya), seorang juru masak wanita berusia 33 tahun yang tinggal di Mumbai mengatakan, dirinya merasa "terjebak di rumah sendiri" bersama seorang suami yang tidak bekerja, mengonsumsi obat-obatan, dan penuh kekerasan.
Selama mengungkapkan apa yang ia alami, Heena tak henti-hentinya mengucurkan air mata.
Setelah membeli obat-obatan, sang suami "menghabiskan harinya dengan terus bermain PubG di ponselnya atau memukul dan menyiksa saya," kata Heena kepada AFP lewat sambungan telepon.
LANGKAH-LANGKAH YANG BELUM CUKUP
Pada 15 Agustus 2020 lalu, suami Heena memukulinya dengan lebih membabibuta ketimbang sebelumnya.
Tindakan kekerasan ini terjadi tepat di depan mata putra mereka yang masih berusia tujuh tahun.
Sang suami pun mengusir Heena dari rumah pada pukul 3 pagi.
"Saya tak punya tujuan," kata Heena.
"Saya hampir tidak bisa menggerakkan tubuh saya - dia memukuli saya hingga babak belur, tubuh saya bengkak-bengkak," paparnya.
Bukan ke kantor polisi, tetapi akhirnya Heena bisa berhasil menuju rumah temannya dan orangtuanya.
Kini, Heena berjuang mendapatkan hak asuh atas putranya.
"Tapi, pengadilan tidak beroperasi secara penuh karena Covid-19," kata Heena.
Heena tak bertemu dengan putranya selama hampir empat bulan, meskipun sang putra sempat beberapa kali berhasil menelepon dirinya secara diam-diam.
Baca juga: Sama-sama Pernah Gagal Menikah, Denny Sumargo Sebut Ayu Dewi Sebagai Inspirasinya untuk Bangkit
Baca juga: Wagub DKI Jakarta Sebut Warga yang Tolak Lakukan Rapid atau Swab Test akan Dikenai Denda Rp 5 Juta
Baca juga: Sesalkan Kerumunan di Tengah Pandemi, MUI: Menghancurkan 10 Bulan Kerja Keras Penanganan Covid-19
Bukan hanya pengadilan yang terhantam oleh virus corona.
Tutupnya usaha-usaha atau bisnis dan sekolah, serta aktivitas olahraga maupun budaya, telah menghilangkan kesempatan para korban yang sudah tertimpa kesulitan ekonomi untuk keluar dari tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Hanaa Edwar dari Iraqi Women's Network mengatakan kepada AFP, ada "kemerosotan dalam situasi sosial ekonomi bagi keluarga setelah diberlakukannya lockdown, dengan lebih banyak keluarga jatuh miskin, yang berbuntut pada reaksi tindakan kekerasan."
Di Brasil, 648 pembunuhan wanita tercatat di paruh pertama tahun 2020, sedikit peningkatan dari periode yang sama pada 2019 menurut Brazilian Forum for Public Security.
Pemerintah setempat memang telah meluncurkan kampanye untuk mendorong para perempuan untuk mengajukan pengaduan.
Namun, forum tersebut mengatakan bahwa langkah-langkah yang dirancang untuk membantu para korban masih belum cukup.
"MASK-19"
Di seluruh dunia, PBB mengatakan bahwa hanya satu dari delapan negara yang telah mengambil tindakan lanjut untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 terhadap wanita dan anak-anak.
Di Spanyol, para korban dapat secara diam-diam meminta bantuan di apotek dengan menggunakan kode "masker-19", dan beberapa asosiasi di Prancis mendirikan titik kontak di supermarket.
"Para perempuan yang datang kepada kami berada dalam situasi yang tak tertahankan, berbahaya," kata Sophie Cartron, asisten direktur di asosiasi yang bekerja di sebuah pusat perbelanjaan dekat Paris.
"Penguncian sementara (lockdowon) justru membuat dinding kesenyapan," katanya.
Mobilisasi pada 25 November, dalam rangka Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan masih belum pasti karena adanya pembatasan-pembatasan terkait dengan pandemi Covid-19.
Meski begitu, parade untuk memperjuangkan hak-hak perempuan masih tetap digelar di Kosta Rika, Guatemala, Liberia, Namibia dan Rumania baru-baru ini.
"Kami tidak akan dapat berdemonstrasi untuk mengungkapkan kemarahan kami, atau sekadar berbaris bersama," kata kelompok Family Planning yang berbasis di Paris.
"Tapi kami akan membuat diri kami didengar semuanya, baik secara virtual maupun visual," lanjutnya.
Tamara Mathebula dari South African Commission for Gender Equality menggambarkan "maskulinitas toksik" (toxic masculinity) kronis yang terjadi "di mana pun kamu memandang."
"Ada kesenjangan upah gender yang melebar dan terus melebar selama pandemi COVID-19," katanya kepada AFP.
Akibatnya, "kekerasan berbasis gender semakin memburuk", katanya, dan konsekuensinya bisa sangat serius.
Pada bulan Juli 2020 lalu, PBB memperkirakan bahwa enam bulan pembatasan terkait Covid-19 dapat mengakibatkan 31 juta tambahan kasus kekerasan seksual di dunia dan tujuh juta kehamilan yang tidak diinginkan.
Situasi itu juga merusak perjuangan melawan sunat alat kelamin perempuan dan kawin paksa, kata PBB.
SUMBER: AFP via Channel News Asia
(TribunPalu.com/Rizki A.)