KKB Papua
Surat OPM Usai Jokowi Instruksikan TNI-Polri Serbu KKB Papua: Mari Berunding
Gugurnya jenderal TNI ditembak KKB membuat Presiden Joko Widodo ( Jokowi) langsung bereaksi.
TRIBUNPALU.COM - Gugurnya jenderal TNI ditembak KKB membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung bereaksi.
Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha gugur ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (25/4/2021).
Kabinda Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya saat itu sedang mendatangi langsung lokasi pembakaran yang dilakukan KKB di Beoga, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
Sedangkan aksi pembakaran permukiman warga itu terjadi dua pekan lalu. Selanjutnya jenazah Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha akan dievakuasi ke Timika.
Tak hanya itu, lokasi itu juga sebelumnya pernah diserang KKB, Sabtu (17/4/2021).
TNI menduga, aksi tersebut didalangi KKB pimpinan Lekagak Tenggenen.
Menyusul penembakan tersebut, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto
untuk menangkap seluruh anggota KKB usai penembakan Kabinda Papua Gusti Putu yang gugur dalam baku tembak dengan KKB Papua.
Senin (26/4/2021), Jokowi mengatakan, "Saya juga telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk terus mengejar dan menangkap seluruh anggota KKB."
Jokowi menegaskan, tak ada tepat bagi kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Tanah Air.
"Saya tegaskan tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata di tanah Papua maupun di seluruh pelosok Tanah Air," ujar Jokowi dalam keterangan pers secara virtual melalui YouTube Sekretariat Presiden, Senin (26/4/2021).
Sementara Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal TNI Achmad Riad, menegaskan TNI siap membantu polisi menangkap seluruh anggota KKB di Papua.
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Jokowi yang memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap seluruh anggota KKB Papua.
Kirim Surat Minta 3 Hal Ini
Belum juga operasi besar-besaran itu dijalankan, OPM sudah mengirim surat menanggapi hal tersebut
Mereka mengatakan bahwa pengiriman TNI dan Polri ke Papua dalam jumlah besar tidak boleh dan melanggar HAM.
OPM ingin menempuh jalur perundingan dengan pemerintah.
Dikutip dari Intisari-Online dari yang berjudul:Beringas Kala Menyerang Hingga Tewaskan Kabinda Papua, OPM Kini Mengemis Memohon Perundingan Setelah Jokowi Perintahkan Operasi Besar, Ini Alasan Mereka
Berikut ini isi surat dari OPM, seperti dilansir dari Instagram @infokomando
Syukur BagiMu Tuhan, Hai Tanahku Papua.
Berdasarkan pernyataan president republik Indonesia Mr. Joko Widodo, Dan Ketua MPR RI, paskah PENEMBAKAN KADIN BIN PAPUA, Oleh pasukan Khusus TPNPB OPM, maka president Republic Indonesia dan Ketua MPR RI mendesak TNI POLRI untuk melakukan operasi militer di propinsi Papua dan Papua Barat, maka kami sebagai Penanggung jawab politik organisasi Perjuangan Bangsa Papua hendak menyampaikan Beberapa hal penting, sebagai berikut:
PERTAMA: OPM sebagai organisasi induk perjuangan bangsa Papua untuk kemerdekaan dan kedaulatan Bangsa Papua secara terbuka bertanggung jawab terhadap perang TPNPB di seluruh teritorial West Papua.
KEDUA: KONFLIK BERSENJATA antara TPNPBOPM melawan TNI POLRI hanya dapat diselesaikan melalui PERUNDINGAN yang bermartabat dan demokratik berdasarkan ketentuan dan aturan Internasional oleh kedua actor utama yaitu OPM dan NKRI, maka itu president republik Indonesia dan Ketua DPR RI tidak boleh instruksikan TNI POLRI melakukan Operasi Militer di West Papua. Hal tersebut merupakan pelanggaran KONSTITUSI dan pelanggaran HAM berat oleh NKRI bagi Bangsa Papua.
KETIGA: Disampaikan kepada GUBERNUR PAPUA dan PAPUA BARAT, DPRD, MPR dan seluruh bupati bupati dan organisasi sipil perjuangan bangsa Papua, Dewan Gereja Papua, organisasi mahasiswa, organisasi masyarakat dan adat Papua, organisasi Perempuan Papua, seluruh lembaga kemanusiaan di Papua secara bersama dapat mengeluarkan statement Politik untuk MENOLAK INVASI MILITER DAN OPERASI MILITER TNI POLRI ke Papua, dan selanjutnya semua pihak untuk menekan pemerintahan respublik Indonesia secara demokratik dapat berunding bersama OPM sebagai penanggung jawab politik dan actors utama KONFLIK di tanah Papua.
KONFLIK BERSENJATA HANYA DAPAT DISELESAIKAN MELALUI PERUNDINGAN INTERNASIONAL YANG DEMOKRATIK DAN BERMARTABAT ANTARA KEDUA ACTOR UTAMA YAITU OPM DAN NKRI.
Surat tersebut dikeluarkan pada 27 April 2021 dari Kantor Pusat perjuangan bangsa Papua, Markas Besar OPM TPNPB Victoria.
4 Poin sejarah konflik Papua
Bila ditarik kebelakang, tutur Hasanuddin, ada empat poin sejarah awal kemelut di Papua berdasarkan penelitian sejumlah lembaga survei termasuk LIPI.
Pertama, kata dia, soal persepsi terkait referendum Papua tahun 1960an.
Sebagian masyarakat Papua, imbuhnya, meyakini bahwa referendum masih belum selesai.
"Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menolak rencana referendum Papua, dan memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi permasalahannya adalah persepsi masyarakat," ujarnya.
Kemudian yang kedua, masih ada diskriminasi terhadap masyarakat Papua, meski kondisi sekarang jauh lebih baik dibanding 25 tahun lalu.
Ketiga, adanya traumatis sebagian masyarakat Papua akibat diterapkannya belasan kali Operasi Militer di zaman orde baru.
"Keempat adalah kegagalan otonomi khusus (otsus) di Papua. Triliunan rupiah bahkan puluhan triliun digelontorkan dari Jakarta, tapi hanya dinikmati elit.
Tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Papua masih seperti itu saja," ucap politikus PDI Perjuangan ini.
Setelah itu, kata Hasanuddin, munculah Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM ini sebenarnya adalah separatis atau pemberontak bersenjata.
Dari berbagai sumber.(*)