Kisah Kelahiran Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo Saat 'Kiamat di Siang Hari' NTT 1992
Pada 12 Desember 1992 gelombang tsunami menghantam Pulau Flores bagian tengah dan timur. lebih dari 1.300 orang dinyatakan meninggal, 500 orang hilang
Namun belum sampai menjejak rumah dari arah bawah ia melihat orang-orang beteriak sambil berlari-lari panik.
Jauh di depan sana, perkampungan tak lagi terlihat. Semua rumah sudah luluh-lantak tersapu ombak raksasa.
Bersamaan surutnya air laut, Liuk Maran bergegas ke arah rumah.
Pada satu titik, ia melihat orang-orang berkerumunan di serumpun pohon bambu.
“Astaga! Ternyata mereka mengerubungi istri yang tersangkut di anak-anak pohon bambu yang menyerupai duri. Istriku pingsan. Segera saya menurunkan, membersihkan, dan mengeluarkannya dari
pepohonan bambu,” kisahnya.
Liuk Maran melakukan itu semua seorang diri. Orang-orang yang tadi berkerumun, sudah hilang. Rupanya, mereka pun segera menghambur ke berbagai penjuru untuk mencari keluarga mereka.
Liuk Maran membopong istrinya dari daerah pantai ke arah daratan. Agak berat ia rasa, karena istrinya memang sedang hamil tua.
Perkiraan dokter Puskesmas, satu-dua minggu lagi janin yang dikandung itu diperkirakan lahir.
Ia tidak tahu harus membawa ke mana, karena rumahnya sudah rata tanah.
Tak lama, istrinya sadar dan mengerang kesakitan.
“Maaf, saya sulit menggambarkan perasaaan hati. Saya shock sekaligus panik melihat keadaan yang mendadak kacau. Tak pernah sedikit pun membayangkan akan mengalami peristiwa seperti itu. Di hadapan saya istri mengerang kesakitan. Sebagian pikiran saya tertuju pada dua anak saya yang entah di mana. Haruskah aku tinggalkan istriku agar bisa mencari anak-anak? Atau haruskah aku berdiam di sisi istriku, sementara aku tak tahu nasib kedua anakku?” katanya.
“Sungguh... akal sehat tidak ada lagi. Yang ada hanya rencana mau mati habis,” lanjutnya.
Sang istri masih merintih dan menangis.
Namun sang suami bingung harus ke mana meminta pertolongan.
“Seketika sirna bayangan gila untuk bunuh diri bersama. Tendangan si jabang bayi seperti menyuntikkan
nyawa dan tekad, bahwa saya harus hidup. Istri saya harus hidup. Anak saya harus lahir selamat,” katanya bersemangat.
Instingnya sebagai manusia menuntun Liuk Maran menjadi “dukun bayi” bagi istrinya, demi kelahiran sang janin
buah cintanya.