Pilpres 2024
Kubu Moeldoko Soal SBY Ingin Presidential Threshold 0%: Tidak Masuk Akal dan Tidak Konsisten
Muhammad Rahmad menanggapi soal permintaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar presidential threshold nol persen di Pemilu 2024.
TRIBUNPALU.COM - Juru Bicara Partai Demokrat KLB Deli Serdang, Muhammad Rahmad menanggapi soal permintaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold nol persen di Pemilu 2024.
Keinginan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021) lalu.
Muhammad Rahmad mengaku heran dengan permintaan SBY itu.
“Kami sangat heran dengan permintaan SBY yang kini menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu menjadi nol persen," kata Rahmad dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Sabtu (18/12/2021).
Menurut Rahmad, tahun 2009, justru SBY yang menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu dinaikkan dari 4 persen menjadi 20 persen.
Tahun 2014, sambungnya, SBY kembali menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu berada di angka 20 persen.
“Perubahan presidential threshold dari 4 persen ke 20 persen ini terjadi pada 2009. Perubahan menjadi 20 persen itu adalah keinginan SBY yang saat itu ingin dipilih lagi menjadi presiden periode kedua. SBY yang kala itu menjadi Presiden, menginstruksikan kepada Partai Demokrat untuk melobi partai-partai koalisi agar mendukung dan menyetujui keinginan SBY itu,”ucapnya.
https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/muhammad-rahmad-jubir-demokrat-klb-deli-serdang.jpg

Muhammad Rahmad, Juru Bicara Partai Demokrat KLB Deli Serdang (HO)
Menurut Rahmad, pada 2009, Partai Demokrat menguasai kursi di DPR RI sebesar 21,7%.
"SBY ingin kembali maju menjadi Presiden periode kedua dan ingin menghambat calon-calon lain melalui presidential threshold 20 persen. Rencana SBY itu didukung oleh partai koalisi yang menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR RI," katanya.
Ia menjelaskan, Presidential threshold bertujuan membatasi jumlah calon presiden dan calon wakil presiden.
Namun demikian, dengan pembatasan itu masyarakat tetap dimungkinkan untuk mendapatkan empat pasangan calon dalam pilpres.
Pembatasan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden juga untuk menciptakan demokrasi yang tidak berbiaya tinggi.
"Jika Presidential threshold menjadi nol persen, maka pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bisa mencapai 15 pasang. KPU harus membiayai semua biaya kampanye mereka seperti pada pilkada serentak, seperti menyediakan semua alat peraga kampanye dan lain-lain untuk semua calon," katanya.
"Keuangan negara tentu sangat terbebani di tengah kondisi ekonomi kita sedang berjuang menghadapi pandemi Covid 19."
Oleh karena itu, menurutnya, permintaan SBY itu tidak masuk akal dan terkesan tidak konsisten.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 0 persen di Pemilu 2024.
Sebab tak ada urgensi menetapkan ambang batas pencalonan presiden ketika pemilu dilakukan serentak.
"Dari awal kita sudah bilang kan. Saya, Pak SBY juga sudah bilang masih nol persen. Karena memang enggak ada lagi urgensinya ketika serentak. Bagiamana mengukur itu padahal hasil legislatif itu yang dipakai padahal serentak," ujar Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Gugatan Gatot Nurmantyo ke MK soal 'Presidential Treshold'
Partai Demokrat menghormati dan menghargai hak hukum yang ditempuh Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo melalui kuasa hukumnya yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kami bisa memahami jika Pasal yang mengatur tentang ketentuan Presidential Threshold ini dianggap tidak sesuai dengan UUD ‘45 dan hasil amandemennya," ujar Kamhar Lakumani, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, dalam keterangannya kepada pers, Rabu (15/12/2021).
Kamhar mengatakan memang tidak ada ketentuan Presidential Threshold pada hasil amandemen UUD ‘45.
Pada Pasal 6A Ayat 2 amandemen ketiga UUD ‘45 hanya menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemeilihan umum.”
"Sehingga jadi jelas dan tegas tak ada ketentuan tentang Presidential Threshold," ujar Kamhar.
Menurut Kamhar, tentunya aspirasi ini tak datang dari ruang hampa sebab pengalaman Pilpres 2014 dan 2019 yang hanya menyajikan dua pasangan calon telah berakibat pada pembelahan di masyarakat.
"Biaya sosial, ekonomi, dan politik yang mesti ditanggung sebagai bangsa malah jauh lebih besar. Ini kontra produktif dengan ikhtiar konsolidasi demokrasi yang hendak dituju," katanya.
"Pembelahan yang terjadi semakin menumbuhsuburkan politik post truth, penyebaran hoaks secara masif, buzzerRp, dan sebagainya yang mendistorsi diskursus publik," ujar Kamhar menambahkan.
Kamhar mengatakan rakyat berhak mendapatkan banyak pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden sebab kita tak kekurangan stok calon pemimpin bangsa yang berkualitas dan handal.
"Presidential threshold-lah yang selama ini menjadi hambatan bagi hadir dan tampilnya putra dan putri terbaik bangsa dipanggung kepemimpinan nasional. Tak hanya membatasi pilihan rakyat, ini juga bertentangan dengan fungsi partai politik dalam hal rekruitmen kepemimpinan nasional," ujarnya.
Menurut Kamhar, wacana presidential threshold tidak relevan sebagai justifikasi jika yang dikehendaki adalah penyederhanaan partai politik sebagai ikhtiar peningkatan derajat dan kualitas demokrasi.
Ini beda konteks.
"Jadi kami menghargai dan sependapat dengan pemikiran-pemikiran bahwa presidential threshold ini mesti ditinjau kembali," katanya.
Dikatakan bahwa bagi setiap partai politik yang telah memenuhi ketentuan dan berhak menjadi peserta Pemilu, bisa mengusung pasangan Capres dan Cawapres, baik secara sendiri-sendiri atau dalam bentuk koalisi.
"Itu menjadi hak dan berpulang pada kepentingan strategis masing-masing partai politik," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Gatot Nurmantyo meminta penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) lewat permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia menyebut aturan yang tertuang dalam pasal 222 UU Pemilu itu bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), dan 6A ayat (5) UUD 1945.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Gatot dalam petitum gugatan bernomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021.
(*/ TribunPalu.com) (Tribunnews.com)