Jelang Iduladha, Indonesia Terserang PMK, Bolehkah Hewan Kena PMK untuk Kurban? Berbahayakah?
Jelang Idul Adha, beberapa daerah di Indonesia terkena wabah PMK pada hewan ternak, lalu apakah hewan dengan PMK boleh digunakan untuk kurban
TRIBUNPALU.COM - Jelang Idul Adha, beberapa daerah di Indonesia terkena wabah PMK pada hewan ternak, lalu apakah hewan dengan PMK boleh digunakan untuk kurban dan berbahaya atau tidak?
Idul Adha yang akan dilaksanakan bulan depan dipastikan akan membutuhkan banyak hewan ternak dan kurban.
Mirisnya ada wabah penyakit hewan baru yang menyerang ternak dan calon hewan kurban.
Dilansir dari Agriculture Victoria, PMK tidak dianggap sebagai masalah kesehatan bagi manusia karena penularan dari hewan ke manusia sangat jarang ditemukan.
Namun, manusia bisa membawa virus tetap hidup di hidungnya selama 24 jam dan menularkannya kepada hewan lainnya.
Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak, terutama sapi, tengah menjadi sorotan di Indonesia.
Hingga saat ini, kasus PMK pada ternak dilaporkan sudah menjangkit di 18 provinsi.
Sekira 150 ribu ekor ternak diperkirakan terjangkit PMK.

Pengertian PMK
Dikutip dari Buku Panduan Kesiagaan Darurat Veteriner indonesia terbitan Kementerian Pertanian (Kementan), Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit infeksi virus yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku genap/belah (cloven-hoofed).
Penyakit ini ditandai dengan adanya pembentukan vesikel/lepuh dan erosi di mulut, lidah, gusi, nostril, puting, dan di kulit sekitar kuku.
PMK dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar akibat menurunnya produksi dan menjadi hambatan dalam perdagangan hewan dan produknya.
Nama lain penyakit ini antara lain aphthae epizootica (AE), aphthous fever, foot and mouth disease (FMD).
Hewan yang peka atau mudah terjangkit PMK adalah hewan berkuku genap atau belah, yaitu jenis ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa), babi, unta dan beberapa jenis hewan liar seperti bison, antelope, menjangan, jerapah, dan gajah.
Secara infeksi buatan PMK juga dapat ditularkan kepada tikus, marmut, kelinci, hamster, ayam dan beberapa jenis hewan liar akan tetapi tidak memegang peranan penting dalam penyebaran PMK di alam.
Kasus Lama Terulang Kembali
Sementara itu Kementan mencatat, Indonesia pernah mengalami beberapa kali wabah PMK.
Penyakit ini pertama kali masuk Indonesia pada tahun 1887 melalui impor sapi dari Belanda.
Wabah PMK terakhir terjadi di pulau Jawa pada tahun 1983 yang kemudian dapat diberantas melalui program vaksinasi massal.
Indonesia dinyatakan sebagai Negara bebas PMK pada tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.260/1986 dan kemudian diakui oleh OIE pada tahun 1990 dengan Resolusi no XI, dan sampai saat ini status bebas tersebut masih dapat dipertahankan.
Ada potensi penyebaran PMK secara cepat ke populasi hewan rentan di Indonesia.
Penyebaran secara cepat terjadi melalui lalu lintas hewan dan produknya, kendaraan dan benda yang terkontaminasi virus PMK.
Untuk mengurangi dampak yang lebih besar dan meminimalkan penyebaran PMK, maka diperlukan kemampuan deteksi dan diagnosa PMK yang cepat dan akurat serta pengendalian lallu lintas hewan rentan dan produknya ke daerah lain yang masih bebas.
Vaksin PMK Dimulai
Sementara itu vaksinasi perdana nasional terhadap hewan ternak untuk mengendalikan penularan penyakit mulut dan kuku hewan (PMK) mulai dilakukan pada Selasa (14/6/2022) kemarin.
Hal itu disampaikan Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri, melalui YouTube Kementan, Senin (13/6/2022).
Ia menyebut vaksinasi dilakukan setelah vaksin PMK tahap pertama tiba di Indinesia pada 12 Juni 2022.
Selanjutnya, akan tiba 800.000 vaksin PMK dalam beberapa waktu ke depan untuk memenuhi pengadaan total 3 juta vaksin secara nasional.
"Dengan tibanya vaksin tersebut kami ingin sampaikan vaksinasi perdana nasional direncanakan akan dimulai besok 14 Juni 2022 sesuai dengan peta sebaran PMK," kata Kuntoro.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri (YouTube Kementerian Pertanian RI)
Ia pun mengatakan, pelaksanaan vaksinasi akan dilakukan bekerja sama dengan posko-posko tanggap darurat di daerah.
Selain itu, vaksinasi akan diutamakan bagi hewan sehat dan berisiko tinggi tertular PMK yang berada di sumber pembibitan ternak, peternak sapi perah milik rakyat dan koperasi susu, serta peternak sapi potong.
Kementan pun juga mempersiapkan vaksin lokal yang diperkirakan selesai produksi pada akhir Agustus 2022 ini.
"Kami menekankan bahwa Kementan melalui Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) di Surabaya juga tengah mempersiapkan vaksin lokal yang diprediksi selesai produksi akhir Agustus 2022 nanti," ucap Kuntoro.
Fatwa MUI
Hewan yang terkena Foot and Mouth Disease atau Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) gejala klinis kategori berat tidak sah untuk dijadikan hewan kurban.
Hal itu disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, saat memberikan paparan dalam konferensi pers Fatwa Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah PMK, Selasa (31/5/2022) di Gedung MUI Pusat, Jakarta, dilansir laman MUI.
“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang atau tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus, hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban,” jelasnya.
Hewan itu baru sah dikorbankan jika sudah sembuh dari PMK pada hari-hari berkurban yaitu 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Jika hewan sembuh dari PMK setelah tanggal tersebut, maka penyembelihan hewan tersebut terhitung sebagai sedekah.
“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh PMK dalam waktu yang diperbolehkan kurban (tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah), maka hewan tersebut sah dijadikan hewan kurban,” katanya.
“Bila sembuhnya setelah rentang waktu berkurban, maka sembelihan hewan tersebut dianggap sedekah, bukan hewan kurban, ” imbuhnya.
Hewan dengan Gejala PMK Ringan Tetap Sah untuk Kurban
Kiai Niam menyampaikan, ketentuan-ketentuan khusus di atas hanya untuk hewan PMK kategori berat.
Sementara pada PMK kategori ringan, ditandai dengan lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya, hukumnya sah dijadikan hewan kurban.
Dia menambahkan, pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuh hewan tetap membuat hewan tersebut sah dikorbankan.
Perbedaan PMK Kategori Berat dan Ringan

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus yang sangat menular dan menyerang hewan berkuku genap/belah seperti sapi, kerbau, dan kuda.
PMK dengan gejala klinis kategori berat adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan.
Penyakit ini juga menyebabkan kurus permanen, dan proses penyembuhannya butuh waktu lama atau bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan.
Sementara PMK dengan gejala klinis kategori ringan adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lesu, tidak nafsu makan, demam, lepuh pada sekitar dan dalam mulut (lidah, gusi), mengeluarkan air liur berlebihan dari mulut.
PMK dengan kategori ringan tidak sampai menyebabkan pincang, tidak kurus, dan dapat disembuhkan dengan pengobatan luka agar tidak terjadi infeksi sekunder, dan pemberian vitamin dan mineral atau herbal untuk menjaga daya tahan tubuh dalam waktu sekitar 4-7 hari.
10 Panduan Hewan Kurban
Panduan hewan kurban tertuang dalam Fatwa Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah PMK.
Fatwa ini ditetapkan pada Selasa, (31/5/2022) yang disampaikan langsung oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh di Gedung MUI, Jakarta Pusat.
Berikut 10 panduan ibadah berkurban untuk mencegah hewan terpapar PMK, dikutip dari laman MUI:
1. Umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan kurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan kurban memenuhi syarat sah, khususnya dari sisi kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Umat Islam yang melaksanakan kurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung proses penyembelihan.
3. Umat Islam yang menjadi panitia kurban bersama dengan tenaga kesehatan perlu mengawasi kondisi kesehatan hewan dan proses pemotongan serta penanganan daging, jeroan, dan limbah.
4. Dalam hal terdapat pembatasan pergerakan ternak dari daerah wabah PMK ke daerah lain yang menyebabkan kurangnya stok, maka umat Islam yang hendak berkurban:
a. dapat berkurban di daerah sentra ternak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mewakilkan (tawkil) kepada orang lain.
b. berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang menyelenggarakan program pemotongan hewan kurban dari sentra ternak.
5. Lembaga Sosial Keagamaan yang memfasilitasi pelaksanaan kurban dan pengelolaan dagingnya agar meningkatkan sosialisasi dan menyiapkan layanan kurban dengan menjembatani calon pekurban dengan penyedia hewan kurban.
6. Daging kurban dapat didistribusikan ke daerah yang membutuhkan dalam bentuk daging segar atau daging olahan.
7. Panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban diwajibkan menerapkan prinsip kebersihan dan kesehatan (higiene sanitasi) untuk mencegah penyebaran virus PMK secara lebih luas.
8. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban bagi masyarakat muslim.
Namun, bersamaan dengan itu Pemerintah wajib melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat dikendalikan dan tidak meluas penularannya.
9. Pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban.
10. Pemerintah wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran virus PMK dapat dicegah semaksimal mungkin.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti) (Tribunnews.com/Gilang Putranto)