Penyalahguna Narkoba Sudah Tidak Lagi Dipenjara dan Dipandang Korban, KOK BISA? Ini Kata Jaksa Agung
Jaksa Agung RI Sanitiar (ST) Burhanuddin soal Pelaku penyalahgunaan narkotika sudah tidak lagi dikenakan hukuman penjara dan dipandang korban.
TRIBUNPALU.COM - Heboh, kini pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika sudah tidak lagi dikenakan hukuman Penjara.
Hal ini disampaikan oleh Jaksa Agung RI Sanitiar (ST) Burhanuddin.
Kok bisa?
Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan bahwa pihaknya kini mengacu pada Pedoman Kejaksaan Nomor 11 tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika, serta Pedoman Kejaksaan Nomor 18 tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Dengan pedoman Kejaksaan tersebut kata ST Burhanuddin, bahwa kini setiap pelaku Penyalahguna narkotiba dipandang korban.
Sehingga langkah hukum yang dilakukan adalah dengan mengembalikan kondisi korban ke semula atau dengan menerapkan rehabilitasi.
”Ini sejalan dengan semangat kebijakan penerapan keadilan restoratif narkotika yaitu semangat memulihkan keadaan seperti semula," kata Burhanuddin saat memberikan sambutan dalam agenda IJRS soal Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, secara daring, Selasa (28/6).

Burhanuddin menambahkan, dengan diterapkannya mekanisme keadilan restoratif bagi pelaku penyalahgunaan narkotika, diharapkan inkonsistensi hukum terhadap pelaku bisa diminimalisir.
Sehingga setiap pelaku penyalahgunaan narkotika bisa disembuhkan dengan upaya rehabilitasi, dan secara otomatis akan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang saat ini didominasi pelaku penyalahgunaan narakotika.
"Diharapkan ke depan melalui kebijakan restorative justice pelaku pengguna Narkoba tidak lagi dijatuhi pidana Penjara, melainkan rehabilitasi untuk disembuhkan dari ketergantungan narkotika," tukas Burhanuddin.
Burhanuddin kemudian membeberkan data jumlah narapidana yang menghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia.
Data yang disampaikan Burhanuddin per Selasa (28/6) kemarin ada sebanyak 228.516 narapidana yang sedang menjalani masa tahanan atau pembinaan di lapas di seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, lebih 50 persennya merupakan narapidana kasus narkotika, yaitu sebanyak 115.716. Kondisi itu yang membuat jumlah kapasitas lapas untuk para tahanan di Indonesia mengalami overcrowded.
"Ini artinya penyebab overcrowded di lembaga pemasyarakatan adalah banyaknya pelaku penyalahgunaan narkotika yang dipenjara," kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengaku ironis melihat kondisi tersebut, sebab dari angka 115.716 narapidana kasus narkotika itu, sebagian besarnya bukanlah pengedar atau bandar.
Melainkan, hanya pengguna yang disebut Burhanuddin merupakan korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Menurutnya mereka seharusnya tidak perlu dipenjara, tetapi direhabilitasi.
Burhanuddin menegaskan dengan diterapkannya Pedoman Kejaksaan yang mengacu pada asas keadilan restoratif, maka ke depan jumlah narapidana perkara penyalahgunaan narkotika yang ditahan bisa berkurang signifikan.
”Dengan adanya kebijakan keadilan restoratif terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika akan berdampak pada berkurangnya jumlah narapidana perkara penyalahgunaan narkotika secara signifikan," ucap dia.
Ketika jumlah narapidana berkurang, maka secara otomatis menjadikan petugas lapas bisa memberikan pelayanan dan pemenuhan hak narapidana yang lain dilakukan secara optimal.
"Sehingga secara otomatis beban lembaga pemasyarakatan akan berkurang dan dapat lebih optimal dalam melayani warga binaan serta pemenuhan hak-hak warga binaan akan berlangsung semakin baik," tukas dia.
Sementara itu Ketua Mahkamah Agung Prof Dr H M Syarifuddin menyoroti disparitas pemidanaan dalam perkara narkotika. Hal ini kata dia menjadi masalah dalam penegakan hukum.
Disparitas pemidanaan adalah perbedaan penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara-perkara yang memiliki karakteristik serupa.
Syarifuddin mengatakan disparitas pemidanaan tersebut tidak sejalan dengan visi Mahkamah Agung mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung melalui empat misinya.
Empat misi tersebut yaitu menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
"Terlebih lagi, disparitas pemidanaan pastinya juga bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan," kata dia.
Selain itu, berdasarkan laporan tahunan Mahkamah Agung, dalam empat tahun terakhir yakni 2017 hingga 2020 tindak pidana narkotika menjadi perkara yang paling banyak diperiksa, ditangani, dan diadili oleh seluruh tingkatan peradilan pidana di Indonesia.
"Jumlah perkara tindak pidana narkotika juga terus meningkat setiap tahunnya," kata dia.
Sedangkan Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Matheus Nathanael mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya ditemukan fakta bahwa tuntutan jaksa berpengaruh sangat kuat terhadap hakim dalam menentukan berat atau ringannya pidana pada perkara narkotika.
Penelitian tersebut bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan I tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan pasal 127 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009).
Matheus menjelaskan pengaruh tuntutan jaksa terhadap putusan hakim terkait perkara peredaran gelap narkotika melalui uji regresi berpengaruh sampai 74 persen. Namun demikian ia mengatakan para peneliti belum mengetahui secara pasti apa penyebab kuatnya pengaruh tersebut.
"Ternyata pengaruh tuntutan jaksa terhadap putusan hakim itu sangat kuat. Dia berpengaruh sampai 74 persen. Kita belum tahu pasti sebenarnya penyebabnya apa, tapi ini yang empiris terjadi sekarang," kata Matheus.
Selain tuntutan, penelitian itu juga membedah pengaruh peran terdakwa ke berat ringannya pidana. Penelitian tersebut menunjukkan peran terdakwa berpengaruh 10,9 persen terhadap putusan.
Sedangkan, barang bukti berpengaruh 30 persen terhadap hakim dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap terdakwa.
"Maksudnya begini, bisa saja ada terdakwa, perannya hanya kurir sebenarnya, bukan bandar. Dia hanya melakukan tindak pidana dari iming-iming jasa pengiriman. Dia tidak tahu peredaran gelap secara lengkap bagaimana," kata Matheus. "Tapi karena dia membawa barang bukti lebih banyak, bisa saja dia dihukum lebih berat daripada yang barangkali produsen, tapi waktu ditangkap memang barang buktinya sedikit. Kira-kira begitu logikanya kenapa barang bukti bisa berpengaruh lebih besar daripada peran terdakwa," lanjut dia.
Dalam perkara penyalahguna narkotika, pengaruh tuntutan jaksa terhadap putusan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana juga kuat meskipun lebih rendah dibandingkan pada perkara peredaran gelap narkotika.
Pengaruh tuntutan jaksa terhadap putusan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana dalam perkara penyalahgunaan narkotika, kata dia, mencapai 56,4 persen.
"Kalau yang di peredaran gelap itu sampai 74 persen, di penyalahguna hanya 56,4 persen," lanjut dia.(*)
(*/ TribunPalu.com / Tribunnews.com )