Pemerintah Canangkan Kebijakan Elpiji 3 Kg Satu Harga

Dalam kebijakan strategis ini, Pertamina Patra Niaga, anak usaha dari PT Pertamina (Persero), ditunjuk sebagai operator utama.

Editor: Regina Goldie
HANDOVER
LPG 3 KG SATU HARGA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengumumkan rencana pelaksanaan kebijakan Elpiji 3 Kg Satu Harga.  

TRIBUNPALU.COM - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengumumkan rencana pelaksanaan kebijakan Elpiji 3 Kg Satu Harga. 

Dalam kebijakan strategis ini, Pertamina Patra Niaga, anak usaha dari PT Pertamina (Persero), ditunjuk sebagai operator utama untuk melaksanakan pengadaan dan distribusi elpiji subsidi di seluruh Indonesia.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam membangun sistem distribusi energi bersubsidi yang lebih merata, transparan, dan tepat sasaran, serta menyelesaikan persoalan ketimpangan harga dan penyimpangan distribusi yang selama ini membebani masyarakat kecil, terutama di wilayah terpencil dan terluar.

Langkah Lanjutan dari Program BBM Satu Harga

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa konsep satu harga pada elpiji merupakan kelanjutan dari kesuksesan program BBM Satu Harga yang telah diterapkan sejak 2016.

Program tersebut menyetarakan harga BBM bersubsidi di seluruh pelosok negeri, termasuk wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), seperti Papua dan Maluku.

“Kami ingin memastikan keadilan energi. Kalau Aceh dan Papua bisa beli BBM dengan harga yang sama, mengapa masyarakat tidak bisa mendapatkan LPG subsidi dengan harga setara juga?” ujar Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).

Ia menambahkan bahwa saat ini masih banyak wilayah, terutama pedalaman dan kepulauan, yang belum terjangkau distribusi Elpiji 3 kg secara optimal.

Sebagian besar masyarakat di sana masih bergantung pada minyak tanah yang cenderung tidak efisien dan lebih mahal secara jangka panjang.

 
Kebijakan Satu Harga: Merombak Tata Kelola Subsidi elpiji

Dalam kesempatan terpisah, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi besar-besaran tata kelola energi subsidi di Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa pemerintah tengah menggodok revisi dua Peraturan Presiden (Perpres), yaitu:

  1. Perpres Nomor 104 Tahun 2007 tentang penyediaan dan pendistribusian LPG tertentu.
  2. Perpres Nomor 38 Tahun 2019 tentang harga dan mekanisme distribusi Elpiji subsidi.

    “Kami ingin mengubah metode penyaluran dan pembentukan harga. Selama ini banyak celah kebocoran, dari sisi kuota hingga rantai distribusi. Harga HET (Harga Eceran Tertinggi) yang seharusnya Rp16.000–Rp19.000 per tabung bisa melonjak hingga Rp50.000 di daerah,” ujar Bahlil saat Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (2/7/2025).

    Pemerintah mencatat bahwa rantai distribusi yang terlalu panjang, ditambah minimnya pengawasan, menjadi penyebab utama terjadinya lonjakan harga di tingkat konsumen akhir. Akibatnya, masyarakat menengah ke bawah yang seharusnya menjadi penerima manfaat subsidi justru paling terdampak oleh harga yang tidak stabil.

 
Dampak Sosial dan Ekonomi: Dorongan Keadilan Energi

Kebijakan ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi berbagai kelompok masyarakat, terutama:

Rumah tangga miskin yang bergantung pada Elpiji untuk memasak.

Pelaku usaha mikro, seperti warung makan dan pedagang kaki lima.

Nelayan kecil dan petani, yang mulai menggunakan LPG sebagai energi alternatif.

Dengan harga yang seragam dan subsidi yang lebih terkontrol, pemerintah juga berupaya menekan penyalahgunaan kuota, yang selama ini banyak dilakukan oleh pelaku usaha besar yang tidak berhak menggunakan Elpiji subsidi.

“Ini bukan hanya soal harga, tapi soal keadilan. Jangan sampai masyarakat di daerah terpencil membayar lebih mahal hanya karena logistik yang tidak efisien,” tegas Bahlil.
 
Penyesuaian Mekanisme: Dari Kuota ke Konsumsi Berbasis Data

Seiring dengan implementasi kebijakan ini, pemerintah berencana memperkuat sistem pengawasan digital dan basis data konsumen melalui integrasi dengan sistem digitalisasi LPG yang telah dikembangkan Pertamina sejak beberapa tahun terakhir.

Pendekatan ini memungkinkan pengendalian subsidi berdasarkan data konsumsi riil, bukan sekadar kuota distribusi.

Sistem tersebut juga akan terintegrasi dengan identitas penerima subsidi seperti KTP, KIS, dan NIK, sehingga hanya masyarakat yang berhak yang bisa membeli Elpiji 3 kg dengan harga subsidi.

 Tantangan Implementasi: Infrastruktur dan Komitmen Daerah

Meski secara konsep menjanjikan, kebijakan ini akan menghadapi berbagai tantangan implementasi, terutama di wilayah terpencil yang masih belum memiliki infrastruktur logistik yang memadai.

Pemerintah pusat telah meminta komitmen pemerintah daerah serta dukungan BUMDes, koperasi, dan lembaga distribusi lokal untuk memastikan distribusi lancar hingga ke pelosok.

Pertamina Patra Niaga juga ditugaskan untuk membangun jaringan distribusi tambahan, termasuk titik-titik agen dan subpenyalur di wilayah 3T yang selama ini belum terlayani.

Menuju Transformasi Energi Nasional yang Inklusif

Kebijakan Elpiji 3 kg satu harga menandai komitmen kuat pemerintah dalam mewujudkan transformasi energi yang inklusif dan berkelanjutan.

Upaya ini sejalan dengan visi energi berkeadilan dan mendukung agenda nasional dalam pengentasan kemiskinan energi.

Jika berhasil, kebijakan ini tak hanya menstabilkan harga, tetapi juga menjadi model reformasi subsidi yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel di masa depan.

“Kita tidak ingin subsidi terus bocor dan tidak sampai ke tangan rakyat. Kita ingin energi bersubsidi menjadi alat pemerataan, bukan komoditas yang dimanfaatkan oleh oknum,” tutup Bahlil. (*)

Sumber: Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved