Sigi Hari Ini
Angka Stunting di Sigi Naik, Abd Rifai Soroti Penanganan Pemerintah yang Dinilai Tidak Merata
Menurut Rifai, Stunting tidak bisa dipisahkan dari persoalan kemiskinan yang bersifat struktural di tengah masyarakat.
Penulis: Andika Satria Bharata | Editor: Regina Goldie
Laporan Wartawan TribunPalu.com, Andika Satria Bharata
TRIBUNPALU.COM, SIGI – Anggota DPRD Kabupaten Sigi, Abd Rifai Arif, menyoroti pola penanganan Stunting oleh pemerintah daerah yang dinilainya belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh dan merata.
Menurut Rifai, Stunting tidak bisa dipisahkan dari persoalan kemiskinan yang bersifat struktural di tengah masyarakat.
"Faktor Stunting itu memang berasal dari kemiskinan. Itu hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau ingin menanganinya, maka harus dirancang secara terencana dan terpadu," ujar Rifai saat ditemui di Bora, Senin (7/7/2025) siang.
Ia menilai pendekatan pemerintah selama ini masih bersifat reaktif dan sporadis, seperti hanya merespons ketika kasus Stunting sudah meningkat di suatu wilayah.
Baca juga: Apa Arti Kata Mangu Dalam Lagu Fourtwnty? Ternyata Maknanya Mendalam
"Jangan seperti pemadam kebakaran, nanti ada kejadian baru rame-rame ke sana. Stunting itu bukan soal menunggu angka tinggi di satu wilayah lalu fokus ke sana saja. Kalau kita tinggalkan daerah lain, maka kasus serupa akan muncul lagi di tempat lain. Karena setiap hari ada manusia lahir," katanya.
Rifai mencontohkan, ketika satu desa mengalami lonjakan angka Stunting, perhatian pemerintah langsung tertuju ke wilayah tersebut, sementara desa lain yang belum terdampak cenderung terabaikan.
"Potensi Stunting itu ada di semua daerah, terutama saat angka kemiskinan naik. Jadi jangan fokus hanya di satu tempat lalu lupakan yang lain," tegasnya.
Selain kemiskinan, Rifai juga menyoroti pernikahan dini sebagai salah satu penyebab meningkatnya angka Stunting di Kabupaten Sigi. Ia menyebut banyak pasangan muda yang menikah sebelum memiliki kesiapan ekonomi.
"Di lapangan saya beberapa kali menemukan masalah utamanya adalah pernikahan dini. Karena secara ekonomi pasangan itu belum siap, akhirnya anak yang dilahirkan berisiko Stunting, apalagi jika perawatan sejak dalam kandungan tidak optimal," jelasnya.
Terkait pernyataan Wakil Bupati Sigi, Samuel Yansen Pongi, yang menyebut efisiensi anggaran sebagai faktor pengurangan program dan sosialisasi penanganan Stunting, Rifai menyatakan ketidaksetujuannya.
"Penanganan Stunting tidak hanya berbasis uang. Ini juga menyangkut budaya. Pendekatannya harus komprehensif mulai dari edukasi remaja, pendampingan pasangan muda, hingga pola asuh yang benar. Kalau kita baru tangani anak setelah lahir, itu sudah terlambat," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya intervensi sejak awal, bahkan sejak pasangan muda memasuki jenjang pernikahan.
Baca juga: Lion Air dari Makassar Tujuan Palu Putar Balik karena Cuaca Buruk, Penumpang Menginap di Bandara
"Minimal mereka yang baru menikah itu sudah harus dibekali informasi dan pendampingan. Karena mereka yang paling berisiko melahirkan anak-anak yang mengalami Stunting," tambah Rifai.
Menurutnya, apabila penanganan dilakukan secara dini dan melibatkan lintas sektor secara aktif, angka Stunting di Sigi bisa ditekan secara signifikan.
“Persoalan ini sebenarnya soal angka saja. Tapi dari angka itu kita bisa evaluasi apakah program pemerintah dalam menurunkan Stunting sudah berjalan dengan baik atau belum,” ucapnya.
Rifai juga menekankan bahwa tanggung jawab dalam menurunkan angka Stunting tidak bisa hanya dibebankan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) melalui APBD. Ia menilai kolaborasi lintas sektor, termasuk lembaga keagamaan, sangat penting.
“Saya setuju dengan pernyataan Bupati Sigi bahwa semua pihak harus berkolaborasi. Kemenag misalnya, sangat penting perannya dalam memberikan edukasi tentang bahaya pernikahan dini dan penguatan nilai-nilai keagamaan kepada generasi muda,” tuturnya.
Ia menilai penguatan dari sisi keagamaan dapat menjadi strategi preventif untuk mencegah pergaulan bebas dan pernikahan dini yang menjadi pintu awal munculnya Stunting dan kemiskinan baru.
“Intinya, penurunan angka Stunting dan kemiskinan memerlukan kerja bersama lintas sektor. Tidak bisa hanya mengandalkan satu instansi,” pungkas Rifai.
Berdasarkan data tahun 2024, Kabupaten Sigi mengalami lonjakan angka Stunting dari 26,4 persen menjadi 33 persen atau naik 6,6 persen. Kenaikan ini menjadi alarm bagi daerah yang sebelumnya mencatat tren penurunan selama tiga tahun berturut-turut.
Baca juga: 352 Siswa Baru Ikuti MPLS di SMPN 4 Palu, KBM Dimulai 14 Juli 2025
Sigi menjadi salah satu dari lima kabupaten/kota di Sulawesi Tengah yang mengalami kenaikan prevalensi Stunting tahun ini, bersama Banggai Kepulauan (28,4 persen), Buol (36,9 persen), Banggai Laut (26,6 persen), dan Kota Palu (25,6 persen).
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sigi, Ariyanto, menyebutkan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sigi per 29 September 2024 tercatat sebanyak 11,03 persen atau sekitar 29.800 jiwa dari total penduduk sekitar 270 ribu jiwa.
Data ini menunjukkan bahwa isu kemiskinan dan Stunting di Sigi masih menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dan sinergi nyata dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah.(*)
HUT RI ke-80, Polres Sigi Teguhkan Komitmen sebagai Garda Terdepan Pengayom Rakya |
![]() |
---|
Warga Desa Kamarora Jadi Kunci Ungkap Kasus Narkoba, Dua Pria Ditangkap Polres Sigi |
![]() |
---|
Pengedar Sabu di Sigi Terancam 20 Tahun Penjara, Polisi Jerat dengan UU Narkotika |
![]() |
---|
Polres Sigi Gagalkan Peredaran Sabu di Dolo Selatan, Pemuda 25 Tahun Jadi Tersangka |
![]() |
---|
Anggota DPRD Sigi Enos Ajak Warga Kinovaro Teladani Semangat Bung Karno di HUT RI ke-80 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.