OPINI

Belajar dari John F Kennedy

Negara yang pernah mengklaim diri sebagai mercusuar demokrasi kini lebih sering memamerkan kekuatan Militer, ekonomi, dan teknologinya.

Editor: mahyuddin
HANDOVER
Andika, Sekretaris DPW Partai Gema Bangsa Sulawesi Tengah 

Andika 

Sekretaris DPW Partai Gema Bangsa Sulawesi Tengah

TRIBUNPALU.COM - Dalam lintasan sejarah modern, tak banyak pemimpin dunia yang meninggalkan jejak moral sekaligus strategis sekuat John F Kennedy.

Di tengah kepungan Perang Dingin, ketika dunia berada di ambang kehancuran nuklir, Kennedy tampil dengan kepemimpinan yang sejuk, rasional, dan bermoral.

Kini, ketika tatanan global bergeser menuju dunia multipolar yang sarat ketegangan dan perebutan pengaruh, dunia dan terutama Amerika, sangat membutuhkan warisan pikiran serta praktik John F Kennedy untuk menyelamatkan masa depan bersama.

Kennedy dan Momen Damai di Tengah Badai

Krisis Rudal Kuba tahun 1962 adalah ujian terbesar bagi kemanusiaan modern.

Saat logika militeristik dan tekanan "serang duluan" menguasai Washington, Kennedy justru memilih jalur diplomasi.

Ia menolak desakan elit Militer dan intelijen yang mendorong serangan ke Kuba, dan sebaliknya membuka komunikasi langsung dengan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev.

Keputusan berani itu menyelamatkan dunia dari kehancuran total.

Kennedy tidak tunduk pada logika kekuasaan absolut.

Ia memahami bahwa keberanian tertinggi seorang pemimpin bukan terletak pada keberanian menarik pelatuk, melainkan pada kesediaan menahan tembakan dan memilih kata-kata.

Amerika Kini: Kekuatan Tanpa Jiwa

Sayangnya, pasca-Kennedy, Amerika justru menempuh jalan sebaliknya.

Negara yang pernah mengklaim diri sebagai mercusuar demokrasi kini lebih sering memamerkan kekuatan Militer, ekonomi, dan teknologinya, tanpa refleksi moral. 

Di bawah berbagai administrasi, Amerika Serikat mencampuri urusan dalam negeri negara lain, memicu konflik regional, dan mempertahankan dominasi global atas nama "kepentingan nasional".

Yang lenyap adalah semangat JFK bahwa kekuasaan tanpa kendali etis bukan hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi perdamaian dunia.

Menjadi negara besar semestinya berarti menjadi teladan, bukan menjadi polisi dunia.

Kekuatan sejati seharusnya digunakan untuk menjaga martabat manusia, bukan menginjaknya.

Dunia Multipolar Butuh Etika Kepemimpinan

Dunia hari ini tidak lagi bipolar. China, Rusia, India, dan negara-negara Global South tumbuh sebagai kekuatan baru.

Era multipolar ini membawa harapan akan keseimbangan global yang lebih adil, namun sekaligus menyimpan potensi konflik baru bila tidak ditopang oleh prinsip-prinsip etis.

Di sinilah warisan Kennedy kembali menemukan relevansinya.

Dunia tidak butuh satu negara yang mendominasi, melainkan pemimpin yang bersedia berbicara damai ketika yang lain sibuk menabuh genderang perang.

Dibutuhkan kepala negara yang memikirkan masa depan umat manusia lebih dari sekadar ambisi partai atau kepentingan korporasi.

Kennedy menunjukkan semuanya. Ia membuktikan bahwa diplomasi bukan kelemahan.

Ia adalah keberanian moral. Ia adalah pilihan untuk mempertahankan kemanusiaan meski dengan risiko kehilangan kekuasaan.

Menghidupkan Etika dalam Kepemimpinan

Bagi Indonesia yang tengah bersiap memasuki babak baru pemerintahan, gagasan etika dalam kepemimpinan menjadi sangat penting.

Di tengah dunia yang penuh tekanan geopolitik dan godaan pragmatisme kekuasaan, kita membutuhkan pemimpin yang mampu bersikap tenang, bijak, dan bermartabat di forum internasional.

Figur Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, kini berada di posisi strategis untuk menunjukkan hal itu.

Sebagai sosok yang pernah diasosiasikan dengan kekuatan militer, Prabowo kini justru menunjukkan pendekatan yang lebih lembut, diplomatis, dan nasionalis-humanis dalam berbagai pidatonya.

Ia bicara soal perdamaian, kedaulatan, dan keadilan global, sebuah perubahan nada yang patut diperhatikan oleh dunia internasional.

Jika ia mampu menjaga komitmen pada prinsip etika dan kepemimpinan rasional, maka Indonesia bisa memainkan peran penting sebagai penyeimbang dalam dunia multipolar.

Seperti Kennedy, Prabowo pun punya kesempatan historis untuk membuktikan bahwa kekuatan bukanlah soal dominasi, melainkan soal keberanian menjaga akal sehat dan kemanusiaan dalam pengambilan keputusan.

Menghidupkan Warisan Kennedy

Ironisnya, warisan Kennedy justru lebih dihargai di luar Amerika ketimbang di dalam negerinya sendiri.

Banyak intelektual Amerika hari ini sibuk membedah teori geopolitik, tetapi lupa belajar dari satu praktik paling berhasil dalam sejarah mereka sendiri: mencegah perang dunia melalui keberanian moral dan kemanusiaan.

Jika Amerika Serikat ingin pulih dari krisis politik dan etikanya, dan jika dunia ingin menghindari kehancuran akibat ego para penguasa, maka kita semua, dari Washington hingga Jakarta, perlu menghidupkan kembali semangat Kennedy.

Karena pada akhirnya, dunia tidak akan diselamatkan oleh rudal, dolar, atau algoritma.

Dunia hanya akan diselamatkan oleh jiwa-jiwa pemimpin yang memilih akal sehat dan nurani, seperti pikiran dan praktik mengurus negara John F Kennedy.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Belajar dari John F Kennedy

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved