Masyarakat kerap turut dalam gerobak yang ditarik sapi atau kerbau untuk keluar menuju kota, baik untuk berdagang, sekolah, hingga bekerja.
Transportasi ini selain langka, juga berjalan dengan lambat, sehingga waktu melintasnya tak tentu.
Kerap kali karena para calon penumpang sambat (mengeluh) setelah lama menunggu.
"Bajingan kok suwe tekone" (Bajingan kok lama datangnya), atau "Bajingan gaweane suwe!" (Bajingan lambat kerjanya/jalannya).
Seringnya keluhan-keluhan tersebut dilontarkan, diduga kata 'bajingan' kemudian mengalami pergeseran makna.
Meski awalnya merupakan nama profesi yang mulia, istilah tersebut kemudian berubah menjadi kata umpatan atau makian karena sering terlambat dan dinilai kerap mengecewakan para calon penumpang.
Setelah berkembangnya teknologi dan alat transportasi di Indonesia, banyak masyarakat yang kemudian beralih pada alat transportasi yang lain.
Hal ini juga menyebabkan semakin langkanya profesi bajingan di wilayah Jawa.