OPINI

OPINI : Dokter Jantung Anak Hanya untuk yang Mampu? Potret Buram Akses Kesehatan Publik

Di sinilah dokter - dokter terbaik Indonesia ditempa, dan pasien dengan penyakit kompleks mendapat perawatan.

Editor: Fadhila Amalia
Handover
Jakarta kembali dihebohkan oleh kabar bahwa seorang dokter spesialis anakkonsultan  jantung di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tidak lagi menerima pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan. 

Oleh :
Prima Trisna Aji

Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang

TRIBUNPALU.COM - Jakarta kembali dihebohkan oleh kabar bahwa seorang dokter spesialis anakkonsultan  jantung di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tidak lagi menerima pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan.

Orang tua pasien pun sudah mulai resah akan pemberitaan tersebut yang mulai viral.

Bagaimana mungkin rumah sakit pusat rujukan nasional, tempat terakhir harapan banyak keluarga, justru menutup pintu bagi anak-anak dari keluarga biasa yang menggantungkan hidup pada layanan public terkhusus pada kasus jantung anak? RSCM selama ini dikenal sebagai rumah sakit pendidikan sekaligus pusat rujukan tertinggi.

Di sinilah dokter - dokter terbaik Indonesia ditempa, dan pasien dengan penyakit kompleks mendapat perawatan.

Namun kabar bahwa sebagian layanan konsultan tidak bisa diakses pasien BPJS mengguncang rasa keadilan public saat ini. Kesehatan yang semestinya hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia, tampak kembali terjebak dalam komersialisasi layanan.

Fakta bahwa jantung bawaan kongenital menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak membuat isu ini semakin genting.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), prevalensi penyakit jantung bawaan mencapai 8 dari 1000 kelahiran hidup. 

Tanpa akses pemeriksaan dan tindakan cepat, maka akan banyak anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh sehat.

Ketika akses layanan ditutup hanya karena skema pembiayaan, maka nyawa anak-anak miskin benar-benar dipertaruhkan.

Urgensi ini semakin nyata ketika kita melihat keterbatasan tenaga ahli pada saat ini dinegara Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa jumlah dokter konsultan jantung anak di Indonesia hanya sekitar 70 orang yang tersebar di 18 provinsi, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta.

Bandingkan dengan kebutuhan nasional: setiap tahun diperkirakan lahir lebih dari 12 ribu bayi dengan kelainan jantung bawaan yang belum semuanya terdeteksi.

Artinya, beban kerja sangat timpang, dan setiap hambatan administratif sekecil apa pun seperti tidak berlakunya layanan BPJS di RSCM akan berimbas besar terhadap keselamatan pasien di seluruh negeri.

Memang benar, dokter Spesialis konsultan memiliki hak menentukan pola praktik.

Namun rumah sakit negara dengan mandat pelayanan publik tidak boleh membiarkan diskriminasi ini terjadi. 

Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kesehatan dan BPJS, harus duduk satu meja dengan manajemen rumah sakit dan organisasi profesi.

Tidak adil bila orang tua pasien dipaksa mencari layanan ke luar negeri atau ke rumah sakit swasta dengan biaya ratusan juta rupiah, sementara sistem jaminan kesehatan nasional kita seolah mandek menghadapi kenyataan saat ini.

Penelitian terbaru mendukung urgensi ini. Salah satunya sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet (2023) menunjukkan bahwa keterbatasan akses layanan spesialis berkontribusi langsung terhadap tingginya angka kematian anak di negara berkembang.

Akses universal pada layanan pediatrik kardiologi menjadi syarat mutlak untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Jika kita gagal menjamin akses ini, slogan Indonesia Sehat hanya akan menjadi hiasan poster belaka yang mungkin akan sulit terwujud.

Solusinya sangat jelas.

Pertama, perlu ada regulasi tegas yang melarang diskriminasi pasien berdasarkan skema pembiayaan di seluruh rumah sakit vertikal milik negara. Kedua, pemerintah harus meningkatkan insentif, baik finansial maupun akademik, agar dokter konsultan tidak merasa dirugikan saat melayani pasien BPJS ke depan.

Ketiga, jejaring layanan jantung anak harus diperluas ke rumah sakit daerah, sehingga beban tidak bertumpu di RSCM semata.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah sistem kesehatan yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

Anak-anak dengan penyakit jantung tidak boleh diperlakukan sebagai “pasien kelas dua” hanya karena lahir dari keluarga sederhana.

Negara harus wajib hadir bukan sekadar lewat jargon, tetapi melalui kebijakan nyata yang menjamin akses setara bagi semua.

Pertanyaannya kini: apakah kita rela menutup mata ketika nyawa anak-anak dipertaruhkan hanya karena kartu BPJS di dompet orang tuanya? Mari buka hati Nurani, bahwa harga sebuah nyawa tidak bisa digantikan denga uang sebesar apapun.

Masih ada “empati” diatas uang.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved