Poso Hari Ini

Wabup Poso Resmi Buka Program Desa Damai Bersama Wahid Foundation dan Libu Perempuan

Ia menegaskan bahwa menjaga dan memperkuat perdamaian bukanlah tugas yang ringan, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.

Editor: Regina Goldie
HANDOVER / DISKOMINFO POSO
Wakil Bupati Poso, Soeharto Kandar, secara resmi membuka kegiatan kick-off program bertajuk "Memperkuat Kohesi Sosial, Membangun Desa Damai" yang diselenggarakan Wahid Foundation bersama Libu Perempuan di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara. 

Acara diawali dengan penampilan Tari Moende (Tari Khas Poso) oleh sangar tari setempat yang memukau para peserta. Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Kaban Kesbangpol Kabupaten Poso, Pimpinan dan Pengurus Wahid Foundation, Pimpinan dan pengurus Libu Perempuan, Camat bersama forkopimca Poso Pesisir Utara, para Kades serta undangan lainnya.

Konflik Poso di Masa Lalu

Konflik Poso yang terjadi di masa lalu adalah salah satu konflik komunal paling berdarah dalam sejarah Indonesia pascareformasi. Konflik ini berlangsung secara intens sejak tahun 1998 hingga sekitar 2001, dan meskipun telah diredam secara militer dan melalui kesepakatan damai, dampaknya masih terasa hingga kini.

Konflik ini awalnya dipicu oleh ketegangan sosial-politik dan ekonomi antara kelompok Muslim dan Kristen di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Ketegangan yang sebelumnya bersifat lokal kemudian meledak menjadi kekerasan terbuka setelah runtuhnya rezim Orde Baru, ketika kontrol negara melemah dan ketidakpuasan lama di antara kelompok masyarakat mulai muncul ke permukaan. Dalam suasana politik yang tidak stabil, berbagai provokasi, disinformasi, dan perebutan kekuasaan lokal turut menyulut konflik sektarian.

Bentrok pertama pecah pada akhir tahun 1998, tepatnya pada bulan Desember, dan dengan cepat berkembang menjadi kekerasan massal yang melibatkan pembakaran rumah ibadah, pemukiman, pembunuhan massal, dan pemisahan wilayah berdasarkan identitas agama. Warga terpaksa mengungsi dan membentuk komunitas eksklusif berdasarkan agama mereka masing-masing. Banyak kampung dihuni hanya oleh satu kelompok agama karena yang lain telah pergi atau diusir secara paksa.

Kekerasan terus berlanjut dalam bentuk gelombang bentrokan yang berulang hingga tahun 2000 dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Dalam periode itu, milisi bersenjata terbentuk di kedua belah pihak, dan kekerasan dilakukan secara sistematis, bahkan kadang melibatkan aktor-aktor dari luar Poso. Tidak hanya korban jiwa yang berjatuhan, tetapi juga kehancuran besar pada fasilitas umum, rumah ibadah, dan rumah-rumah warga. Ribuan orang tewas dan puluhan ribu lainnya menjadi pengungsi.

Pemerintah Indonesia merespons dengan mengirimkan pasukan keamanan dan mencoba melakukan pendekatan militer, tetapi ketegangan tidak mereda. Baru pada Desember 2001, konflik mereda setelah ditandatanganinya Deklarasi Malino yang dimediasi oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Deklarasi ini disepakati oleh perwakilan kedua pihak dan memuat komitmen untuk menghentikan kekerasan, menyerahkan senjata, serta membangun rekonsiliasi.

Meski konflik berskala besar berhenti setelah deklarasi damai, pascakonflik Poso masih ditandai dengan berbagai ketegangan. Dalam beberapa tahun berikutnya, wilayah ini menjadi tempat berkembangnya kelompok-kelompok radikal dan teroris yang memanfaatkan trauma sosial dan ketidakadilan pascakonflik. Salah satu kelompok teroris paling dikenal yang pernah aktif di sana adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang sempat menjadi buronan aparat keamanan nasional selama bertahun-tahun.

Secara umum, konflik Poso menunjukkan bagaimana perbedaan identitas yang dibiarkan berkembang dalam konteks ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi dapat meledak menjadi kekerasan kolektif yang luas. Kasus ini menjadi pelajaran penting dalam pengelolaan keberagaman dan pentingnya keadilan sosial dalam mencegah konflik serupa di wilayah lain. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved