Morowali Hari Ini

Dua Serikat Buruh Soroti Dugaan Pelanggaran K3 dan Hak Normatif di PT IRNC Morowali

Hal ini ditandai dengan pembatasan izin aktivitas serikat serta dugaan penyalahgunaan wewenang oleh beberapa pejabat perusahaan.

Penulis: Ismet Togean 20 | Editor: Fadhila Amalia
Handover
DUGAAN PELANGGARAN NORMATIF - Dua organisasi buruh di Kabupaten Morowali, yakni Pimpinan Serikat Pekerja Nasional (PSP-SPN PT IRNC) dan Serikat Buruh Militan Indonesia (PSP SEBUMI PT IRNC), menyoroti dugaan pelanggaran hak normatif dan keselamatan kerja (K3) di salah satu unit kerja PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome (IRNC), tepatnya di Departemen HAPL yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Ismet

TRIBUNPALU.COM, MOROWALI – Dua organisasi buruh di Kabupaten Morowali, yakni Pimpinan Serikat Pekerja Nasional (PSP-SPN PT IRNC) dan Serikat Buruh Militan Indonesia (PSP SEBUMI PT IRNC), menyoroti dugaan pelanggaran hak normatif dan keselamatan kerja (K3) di salah satu unit kerja PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome (IRNC), tepatnya di Departemen HAPL yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Ketua PSP-SPN PT IRNC, Muh Ilham Z, dan Ketua PSP SEBUMI PT IRNC, Deden Kurnia, secara terbuka menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kondisi kerja yang dinilai membahayakan keselamatan dan kesehatan para pekerja.

Baca juga: Peringati HUT ke-80 TNI, Safri Dukung TNI Semakin Profesional dan Humanis

Salah satu masalah utama yang disorot adalah minimnya alat pelindung diri (APD) yang disediakan perusahaan.

Ilham menyebut, masker yang diberikan kepada pekerja hanya sebanyak lima buah untuk periode kerja yang panjang, padahal kualitas udara di kawasan industri disebut sangat buruk dan berisiko bagi kesehatan pernapasan.

“Masker yang diberikan hanya lima buah untuk periode kerja yang panjang. Padahal kondisi udara di kawasan industri sangat berisiko bagi kesehatan jangka panjang,” ujar Ilham kepada TribunPalu.com.

Menurutnya, kondisi tersebut turut berkontribusi pada tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Morowali yang tercatat mencapai 57.190 kasus sepanjang 2024, menjadikannya yang tertinggi di Sulawesi Tengah.

Baca juga: 20 Kode Redeem FF Free Fire Senin 6 Oktober 2025, Buruan Klaim Semua Item Gratis di Sini

Selain itu, kondisi kerja di ruang kontrol juga mendapat sorotan.

Banyak pekerja perempuan disebut harus duduk selama 12 jam per hari di tempat kerja yang tidak ergonomis, berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan jangka panjang.

Hasil uji kebisingan di area kerja juga menunjukkan angka mencapai 115 desibel, jauh melebihi ambang batas aman sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2018.

“Pekerja juga diperintahkan membersihkan area sempit tanpa pelindung memadai, ini sangat berbahaya dan tidak sesuai dengan SOP keselamatan,” tambah Ilham.

Tak hanya soal K3, kedua serikat buruh juga menuding adanya praktik union busting atau pelemahan serikat pekerja.

Hal ini ditandai dengan pembatasan izin aktivitas serikat serta dugaan penyalahgunaan wewenang oleh beberapa pejabat perusahaan, termasuk supervisor dan foreman asing.

“Bahkan ada pekerja yang sedang sakit tetap dipanggil kerja dan terancam PHK. Ini bentuk penyalahgunaan jabatan,” ujar Deden Kurnia.

Baca juga: Tinjau Dapur MBG di Dondo Tolitoli, Gubernur Anwar Hafid Dorong Keterlibatan Warga Lokal

Menurut mereka, manajemen perusahaan dinilai lebih mementingkan efisiensi biaya dibanding keselamatan dan hak-hak pekerja.

Sebelumnya, kedua serikat telah melakukan perundingan dengan manajemen perusahaan pada tanggal 24 dan 29 September 2025, namun hingga saat ini belum ada solusi konkret yang dihasilkan.

“Jika tidak ada tindak lanjut yang jelas, kami akan menempuh jalur hukum sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” tegas keduanya.

Kedua serikat juga menyatakan akan terus mengawal isu ini hingga ada keadilan bagi seluruh pekerja.

Baca juga: KONI Sulteng Kirim 56 Atlet dan Pelatih ke PON Bela Diri 2025 di Kudus

“Hak dan keselamatan pekerja tidak boleh diabaikan. Kami akan terus bersuara dan bergerak demi perlindungan buruh di Morowali,” tutup Ilham dan Deden.

Jenis-Jenis Pelanggaran Normatif Utama di Morowali

Berdasarkan laporan dan temuan, jenis-jenis pelanggaran normatif yang sering muncul di Morowali meliputi:

1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Ini merupakan isu paling krusial. Pelanggaran K3 seringkali menjadi penyebab utama berulangnya kecelakaan kerja yang fatal, terutama di area smelter.

Kelalaian Prosedur: Perusahaan sering ditemukan melanggar prosedur operasional standar (SOP) dan tata kelola keselamatan.

Fasilitas yang Tidak Layak: Contohnya adalah kondisi fasilitas pendukung seperti toilet yang tidak higienis dan tidak memenuhi standar kesehatan, yang melanggar Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3.

Minimnya Implementasi K3: Kurangnya audit rutin, ketidakjelasan protokol keselamatan, dan implementasi K3 yang dinilai tidak serius oleh serikat pekerja.

2. Hak Upah dan Jaminan Sosial

Pelanggaran ini berkaitan dengan pemenuhan hak finansial dan perlindungan sosial bagi pekerja:

Upah di Bawah Standar: Beberapa kasus menunjukkan pelaporan upah Tenaga Kerja Asing (TKA) yang jauh di bawah standar yang disetujui dalam Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), bahkan dilaporkan hanya setara dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) setempat.

Ketidakikutsertaan Jaminan Sosial: Ditemukan kasus di mana pekerja, baik TKI maupun TKA, belum didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan sesuai kewajiban perusahaan.

3. Jam Kerja dan Hak Istirahat

Pengabaian Hak Istirahat: Pekerja disuruh bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan tanpa kompensasi istirahat yang memadai.

Contohnya adalah tidak diberikannya hak istirahat mingguan sesuai UU Ketenagakerjaan (1 hari istirahat setiap 6 hari kerja).

4. Pelanggaran Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA)

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sering menemukan pelanggaran serius terkait TKA, seperti:

Tidak Memiliki RPTKA: TKA dipekerjakan hanya dengan Izin Tinggal Khusus (ITK) tanpa Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang sah.

Jabatan Tidak Sesuai Izin: TKA ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan yang tertera dalam RPTKA (misalnya, dipekerjakan sebagai staf HRD atau koki yang seharusnya diisi oleh tenaga kerja lokal).

Tidak Ada Alih Teknologi: Perusahaan tidak menunjuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai pendamping TKA untuk tujuan alih teknologi dan transfer pengetahuan, yang merupakan kewajiban.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved