Soal Pengungsi yang Dikeluarkan dari Huntara, Pemkot Menduga Ada Kekeliruan Pendataan
Menanggapi hal itu, Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Said alias Pasha Ungu menyakinkan, tidak ada pengungsi yang dikeluarkan dari huntara.
Penulis: Haqir Muhakir |
TRIBUNPALU.COM, PALU -- Belum lama ini, beredar kabar ada seorang pengungsi asal Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, terpaksa harus meninggalkan hunian sementara (huntara).
Pengungsi itu bernama Ros, yang suah dua pekan menempati huntara di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga.
Ros, bersama suami dan tiga anaknya terpaksa harus kembali melanjutkan hidup di tenda pengungsian setelah sempat tinggal selama dua minggu di huntara.
Menanggapi hal itu, Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Said alias Pasha Ungu menyakinkan, tidak ada pengungsi yang dikeluarkan dari huntara.
"Itu tidak mungkin. Kecuali mungkin salah, ada keliru di pendataan," ujarnya, saat dihubungi, Jumat (5/4/2019) sore.
Lanjutnya, yang dimaksud dengan keliru pendataan itu, yang bersangkutan tidak masuk dalam data prioritas.
Sebab, pihaknya harus membagi, mana yang prioritas, dan mana pengungsi yang tidak diprioritaskan untuk tinggal di huntara.
Sebab, berdasarkan amanat undang-undang, Pemerintah Kota Palu harus memprioritaskan korban bencana yang betul-betul kehilangan rumah.
Serta tercatat, sebagai pemilik sah rumah atau tanah yang hilang akibat bencana alam.
Sementara, bagi mereka yang status kontrak, meski sudah lama menempati rumah yang rusak, pemerintah pusat belum memberikan hunian sementara.
"Hilang karena tsunami, hilang karena gempa, dan hilang karena likuifaksi," jelasnya.
Kisah Pilu Ros, Korban Bencana yang Dikeluarkan dari Huntara Setelah 2 Minggu Tinggal
Sedih bercampur rasa kecewa.
Itulah kata yang bisa terucap dari mulut Ros, Warga Balaro, Palu Barat yang tinggal di Kamp pengungsian Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Ia bersama suami dan tiga anaknya terpaksa harus kembali melanjutkan hidup di tenda pengungsian setelah sempat tinggal selama dua minggu di hunian sementara.
Ros menceritakan, ketika mendengar kabar bahwa nama suaminya, Suardi, tertulis di salah satu bilik huntara.
Saat itu, pengurus huntara meminta nomor telepon suaminya untuk memberitahukan kabar gembira itu.
"Katanya kalau nama suami saya turun dari Bappeda, saya salah satu penerima huntara," terang Ros, kepada Tribunpalu.com, Rabu (3/4/2019).
"Ibu turun ke huntara, soalnya ada nama bapak tertulis di pintu," tambah Ros, mengulang perkataan pengurus yang diketahui bernama Debi itu.
Ros bersama keluarga merasa bersyukur saat itu karena derita yang mereka rasakan selama di kamp pengungsian tak lagi dirasakan ketika itu.
Tanpa ada pemberitahuan selanjutnya, kemudian Ros sekeluarga menjalani kehidupan normal bersama warga huntara di Kelurahan Duyu.
Ros, tinggal bersama suami dan tiga orang anaknya.
Dua orang anaknya sudah masuk di bangku Sekolah Dasar (SD), satunya lagi masih bayi.
"Alhamdulillah, saya ucapkan saat itu, kemudian kita tinggal di situ (huntara red)," jelasnya.
Saat itu, Ros mengaku belum tahu kalau warga yang mengontrak tidak mendapat fasilitas rumah dari pemerintah.
Tapi sayangnya, dua minggu berselang, pihak RW datang menjumpai keluarga ros untuk mengklarifikasi bahwa keluarganya tidak layak mendapat huntara.
Pihak RW datang untuk memberithukan mereka untuk menghadap ke lurah saat itu.
Ternyata panggilan lurah itu untuk meminta mereka meninggalkan hunian sementara itu.
Seketika Ros kaget. Perasaannya bercampur aduk saat itu. Bingung tak tahu harus berbuat apa.
"Lurah duyu bilang kalau orang yang sewa rumah atau mengontrak, tidak dapat huntara, makanya kami bilang kenapa tidak dari awal dibilang," katanya.
Tanpa menunggu lama, Ros bersama keluarga sesegera mungkin mengemas barang untuk dipindahkan lagi ke tenda pengungsian.
Kenikmatan merasakan hunian layak seketika berakhir setelah mendapatkan arahan dari pihak kelurahan.
Hari-hari kembali mereka rasakan di atas lantai tanah berbatu beralaskan terpal.
Dinginnya dataran tinggi Duyu, menambah pederitaan yang mereka rasakan.
"Belum lagi kalau hujan, pasti masuk air," keluhnya.
Belum lagi persoalan air. Untuk kebutuhan cuci dan mandi mereka masih kesulitan karena sudah tiga minggu terakhir mobil tangki tak kunjung tiba.

Ros masih bingung dengan kebijakan pemerintah. Pasalnya, kata dia, ada sebagian warga yang dulunya mengontrak tapi diberikan huntara.
Ros berharap keinginannya dan sebagaian pengungsi yang masih tinggal di tenda bisa dikabulkan sambil memulihkan kondisi perekonomian keluarga mereka.
"Kita memang kan tidak punya tanah, kalau huntap itu tidak usah lah, cukup hunian sementara saja," harapnya.
Namun sayangnya permohonan mereka belum dikabulkan.
Mereka hanya bisa pasrah, menunggu jika ada kebijakan baru dari pemerintah setempat.
"Kami tidak bisa juga menuntut apa-apa karena itu keputusan pemerintah," tuturnya.
Di kamp pengungsian, Ros mengaku kadang dianak tirikan. Pasalnya jika ada bantuan masuk, mereka selalu mendapat sisa bantuan dari huntara.
Padahal, sebelumnya pemerintah setempat sempat menyatakan mengutamakan bagi warga yang masih tinggal di pengungsian.
Bahkan, mereka tidak dapat bantuan itu.
Hal itu sempat memicu keributan. Warga yang tinggal di tenda sempat marah karena merasa dibohongi.
"Kalau tidak ribut orang kemarin, mungkin di sini tidak dapat semua," katanya.
Ros juga merasa tidak ada keadilan dalam pemenuhan hak penerima huntara saat tersebut.
Pasalnya, ada sebagian penerima huntara yang dulunya juga mengontrak rumah alias tak punya tempat tinggal resmi.
"Ada juga rumahnya masih bagus tinggal di huntara, mungkin kena keluarga," keluhnya lagi.
"Mungkin karea kami pendatang kasian, makanya tidak bisa berbuat apa-apa,"tambahnya.
(TribunPalu.com/Muhakir Tamrin)