Pascateror Christchurch, Selandia Baru Gelontorkan Dana Rp1,92 Triliun untuk Program Buyback Senjata

Selandia Baru meluncurkan program buyback atau membeli kembali setelah mengesahkan undang-undang baru yang melarang senjata semi otomatis.

Editor: Imam Saputro
Kurt Bayer via nzherald.co.nz
Polisi meringkus terduga pelaku penembakan massal di Christchurch, Selandia Baru yang terjadi pada Jumat (15/3/2019). 

TRIBUNPALU.COM - Selandia Baru meluncurkan program buyback atau membeli kembali senjata setelah mengesahkan undang-undang baru yang melarang senjata semi otomatis.

Peluncuran program buyback senjata dilaksanakan pada Kamis (20/6/2019) kemarin.

Larangan senjata semi otomatis yang disahkan pada 12 April 2019 lalu dan program buyback senjata ini dilakukan pascaaksi teror penembakan Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lalu.

Undang-undang senjata baru yang mulai berlaku pada 12 April 2019 melarang distribusi dan kepemilikan senjata otomatis gaya militer atau bagian-bagian terkaitnya.

Siapapun yang memiliki senjata terlarang sebagaimana disebutkan dalam undang-undang persenjataan tersebut dapat dihukum hingga 5 tahun penjara.

Sri Lanka Sebut Teror Bom Paskah Lalu Adalah Balas Dendam Atas Penembakan di Selandia Baru

Brenton Tarrant, Pelaku Teror Penembakan Masjid di Selandia Baru Dikenai Pasal Terorisme

Mengutip laman This is Insider, parlemen Selandia Baru memberikan suara mendukung penegakan hukum senjata yang lebih ketat pada bulan April, hanya beberapa minggu setelah aksi teror penembakan Christchurch.

Menteri Keuangan Grant Robertson dan Menteri Kepolisian Stuart Nash mengumumkan peluncuran program buyback ini dalam pernyataan pers bersama.

Pernyataan tersebut menjanjikan 'kompensasi yang adil' bagi para pemilik senjata berlisensi untuk senjata mereka yang diserahkan selama periode amnesti enam bulan.

"Skema kompensasi menilai para pemilik senjata api berlisensi kini memiliki barang-barang terlarang bukan karena kesalahan mereka sendiri, tetapi karena undang-undang yang disahkan oleh hampir seluruh Parlemen," kata Nash dalam pernyataannya.

Parlemen Selandia Baru mengesahkan reformasi undang-undang persenjataan dengan jumlah suara 119 banding 1 pada April lalu.

Ini merupakan perubahan substansial pertama pada undang-undang persenjataan Selandia Baru dalam beberapa dekade.

Selandia Baru menggelontorkan dana sebesar 208 juta dolar Selandia Baru (136 juta dolar AS) atau setara Rp 1,92 triliun untuk membeli kembali senjata-senjata terlarang, suku cadang, dan amunisinya hingga 20 Desember 2019 mendatang.

Skema ini akan memberikan kompensasi bagi para pemilik senjata berlisensi hingga sebesar 95 persen harga senjata yang mereka miliki.

"Pendekatan harga menyeimbangkan kompensasi yang adil untuk senjata api masyarakat dan harga yang adil untuk pembayar pajak," kata Nash.

Penembakan brutal terjadi di Masjid Al Noor, Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019) pagi waktu Indonesia. Setidaknya 30 orang dilaporkan tewas
Penembakan brutal terjadi di Masjid Al Noor, Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019) pagi waktu Indonesia. Setidaknya 30 orang dilaporkan tewas (TribunJogja.com/Mail Online)

Mengutip laman abc.net.au, polisi memperkirakan ada 14.300 unit senjata gaya militer semi-otomatis yang ter-cover oleh undang-undang yang baru ini.

Meski begitu, pemerintah Selandia Baru kesulitan memprediksi jumlah pastinya, serta kondisi dan jenis senjata yang beredar.

Sebelum skema kompensasi dan program buyback ini diluncurkan, hampir 700 senjata telah dikembalikan oleh para pemilik senjata.

Sementara, ribuan orang lain telah mendaftarkan senjata api ke polisi untuk dikumpulkan.

Menurut Robertson, perkiraan jumlah senjata yang telah dimiliki masyarakat Selandia Baru akan semakin jelas begitu program sedang berlangsung.

Pemerintah Selandia Baru pun akan menyediakan "top up" untuk pendanaan program buyback ini jika perlu.

Brenton Tarrant saat jalani sidang perdananya
Brenton Tarrant saat jalani sidang perdananya (tangkap layar stuff.co.nz)

Aksi teror penembakan di dua masjid, Masjid Al Noor dan Masjid Linwood di Christchurch, Selandia Baru terjadi pada Jumat, 15 Maret 2019 lalu.

Pria berusia 28 tahun warga Australia itu telah menembaki jemaah yang hendak menjalankan ibadah salat Jumat dua masjid tersebut sambil menyiarkan secara langsung tindakannya ke media sosial Facebook.

Aksi teror dilakukan oleh Brenton Tarrant menggunakan senjata semi-otomatis, yang mengakibatkan 51 orang tewas dan 49 lainnya luka-luka.

Insiden ini menjadi penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru.

Sementara itu, dalam sidang kasus teror penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (14/6/2019) lalu, pelaku Brenton Tarrant menyatakan tidak bersalah atas semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya.

Pengacara Shane Tait membacakan pernyataan kliennya yang menyatakan bahwa dirinya "tidak bersalah atas semua tuduhan."

Pengadilan sebelumnya telah menjatuhkan 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan terorisme kepada Brenton Tarrant.

(TribunPalu.com/Rizki A. Tiara)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved