COVID-19 Ditetapkan Sebagai Nama Resmi Virus Corona Baru, Apa Makna Signifikan dari Nama Ini?
Update terbaru mengenai virus corona menunjukkan, WHO telah menetapkan nama baru untuk virus yang menyerang saluran pernafasan ini.
TRIBUNPALU.COM - Virus corona jenis baru atau novel coronavirus (2019-nCoV) merebak pada awal tahun 2020.
Kasus virus corona pertama kali dilaporkan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir 2019.
Data live update virus corona secara global dapat diperoleh melalui situs peta digital arcgis.com.
Data digital tersebut menunjukkan, per Rabu (12/2/2020), total telah ada 45.188 kasus terinfeksi virus corona secara global.
Jumlah korban tewas mencapai 1.115 orang, dengan 1.068 di antaranya berada di Provinisi Hubei, China Daratan.
Sementara itu, 4.849 orang yang sudah dinyatakan sembuh.
Virus corona baru tercatat telah menyebar hingga 24 negara di dunia.
• Bantah Jebak PSK, Andre Rosiade: Proses Penangkapan Dilakukan Pihak Kepolisian, Bukan Saya
• Ahli Buaya Asal Australia Pasang Perangkap Besi untuk Penyelamatan Buaya Berkalung Ban di Palu
Update terbaru mengenai virus corona menunjukkan, WHO telah menetapkan nama baru untuk virus yang menyerang saluran pernafasan ini.
Dikutip TribunPalu.com dari TIME, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan nama resmi untuk virus corona baru ini, yakni COVID-19.
Nama baru COVID-19 merupakan singkatan dari Corona Virus Disease 19.
Pemberian nama ini memiliki tujuan khusus, yakni untuk tidak mengacu ada Wuhan, kota di China yang menjadi awal munculnya virus corona baru tersebut.
"Pemberian nama sangat penting untuk mencegah penggunaan nama lain yang tidak akurat atau penuh stigma," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Pemberian nama juga menjadi format standar agar digunakan untuk wabah virus corona lain yang merebak di masa yang akan datang," lanjutnya.
WHO mengacu pada panduan yang dibuat tahun 2015 lalu yang memastikan nama [virus] tidak merujuk pada lokasi geografis, binatang, individu atau sekelompok orang, tetapi juga sekaligus masih bisa diucapkan dan terkait dengan penyakitnya.
• Sosok Matt Wright, Pakar Buaya dari Australia yang Bantu Selamatkan Buaya Berkalung Ban di Kota Palu
• Zulkifli Hasan Minta Maaf atas Ricuhnya Kongres V PAN: Percayalah, Kami akan Akur Kembali
• Peristiwa Langka, Salju Selimuti Kota Baghdad Iraq untuk Kali Pertama dalam Sepuluh Tahun Terakhir
• Sudjiwo Tedjo Menilai Erick Thohir Lebih Cocok Mengurus Film daripada Jadi Menteri
Para pakar kesehatan publik telah sepakat untuk tidak memberi nama virus corona baru ini berdasarkan nama wilayah geografis di China.
Jika pemberian nama virus corona ini masih 'berbau' nama kota Wuhan, dikhawatirkan nama tersebut akan menimbulkan cap atau stigma terhadap penduduk Wuhan yang juga menjadi korban penyakit tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh pakar kesehatan publik sekaligus profesor hukum di Northeastern University, Wendy Parmet, kepada TIME.
"Orang-orang cenderung berpikir bahwa suatu penyakit menjadi semacam 'kepemilikan', sama halnya dengan mengidentifikasi karakteristik dari beberapa orang yang tinggal di tempat tertentu, hal ini tentu memicu stigma," kata Wendy.
"Dianggap sebagai pusat suatu penyakit tentu membuat orang atau tempat itu menjadi tidak produktif. Hal ini malah membuat kota lain [tempat suatu wabah atau penyakit muncul] enggan berterus terang atau melaporkan adanya penyakit, jika kota itu diberi cap/label sebagai nama penyakit," pungkasnya.

Diketahui, menyusul merebaknya wabah virus corona, ada sejumlah laporan mengenai insiden atau sikap xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing), terhadap orang-orang keturunan Asia.
Sementara itu, para ahli mencatat, ada sejarah panjang di balik pemberian nama penyakit yang melibatkan istilah atau nama yang merujuk pada kelompok masyarakat, tempat, atau binatang tertentu.
Sekitar tahun 1500an di Prancis, penyakit sipilis disebut dengan istilah Italian disease, dan di Italia itu disebut French disease.
Wabah pandemi influenza tahun 1918 dikenal luas dengan nama Flu Spanyol di Amerika Serikat, padahal penyakit ini tidak berasal dari Spanyol.
Pada 2009, WHO juga menghentikan istilah 'flu babi' dan menggantinya dengan nama Influenza A (H1N1), setelah timbulnya penurunan penjualan daging babi di pasaran akibat nama penyakit tersebut.
Sementara, Ebola merupakan nama yang berasal dari nama sungai di dekat lokasi wabah virus tersebut muncul pertama kali.
• Video Tiktoknya di Wuhan Viral, Pria Ini Ungkap Hal yang Menakutkan Selama Wabah Virus Corona
• Tak Ada Ancaman Kematian Akibat Virus Corona di Australia, Warga Disebut Tak Butuh Masker
• Bertugas Rawat Pasien Virus Corona di Wuhan, Para Perawat di China Rela Cukur Habis Rambut
Kini, WHO mencatat bahwa nama-nama penyakit yang terkait dengan nama daerah atau binatang harus dihindari untuk menetapkan nama bagi penyakit baru.
Ini mencakup nama penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS), flu Spanyol, flu babi, dan Chagas.
Menurut Arnold Monto, profesor epidemiologi di School of Public Health di University of Michigan mengatakan, kita harus peka terhadap kebudayaan lain ketika memberi nama suatu penyakit.
"Jika ada nama penyakit yang terkait dengan wilayah tertentu (regional) dan itu sudah meluas secara global, tentu hal tersebut akan membingungkan," kata Arnold.
(TribunPalu.com/Rizki A.)